Tetapi tentunya dengan penyajian data dan fakta. Wajar saya kira mahasiswa mengajukan evidences berupa data dan fakta, bukan asal ngomong, asal bunyi dan omong doang - dengan statusnya mahasiswa - dengan ke-maha-annya. Lihat saja yang disampaikan Ketua BEM UI, dalam salah satu pernyataannya menyebutkan bahwa pembangunan jalan-jalan tol di Papua hanya menguntungkan orang-orang kaya dan tidak berpihak kepada kaum miskin. Pernyataan ini disampaikan dengan keyakinan yang tinggi, hanya TANPA DATA PENDUKUNG.
Ia mahasiswa lho, ia ketua BEM UI lho. Apakah sudah ada data (penelitian) yang menyatakan bahwa jalan tol tersebut lebih menguntungkan kaum kaya dan bukan kaum miskin. Mahasiswa (kalau betul mahasiswa) harus menyajikan data tersebut, data yang bukan ucapan lisan ya, tetapi berupa hasil analisa. Kalau tidak, berarti yang disampaikannya itu hanya sebuah asumsi. Bila hanya asumsi, tidak seharusnya dijadikan kesimpulan. Seharusnya, sebagai mahasiswa
Namun tidak demikian rupanya. Data dan fakta malah di acara Mata Najwa itu disampaikan oleh yang mengaku mantan mahasiswa, yaitu pak Moeldoko. Mungkin pak Moeldoko ingin mengajarkan kepada para adik-adiknya yang mahasiswa itu agar berbicara atas dasar data dan fakta.
Catatan 2
Ketua BEM IPB, di acara tersebut sempat menyatakan bahwa beban perkuliahan sangat padat, kuliah dan praktek, sehingga tidak 'bisa' untuk melakukan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan Bahkan di akhir pernyataannya, yang dipertegas oleh Najwa Shihab, beban tersebut sepertinya memang 'dibuat' untuk menghindari mahasiswa dari berkegiatan kemasyarakatan.
Owalah dik ... dik, kalau tidak menonton sendiri acara tersebut, nggak percaya saya bahwa ada pendapat seorang mahasiswa seperti itu. Adik mahasiswa ketua BEM dari IPB, bukankah para mahasiswa, dengan sistem pendidikan sekarang ini, diminta untuk merancang sendiri perkuliahan yang dikehendakinya? Ambil berapa SKS, teori & praktik serta ingin lulus dalam berapa lama, itu semua direncanakan oleh si mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswapun dapat memilih mata kuliah yang ingin diambilnya. Termasuk, saat masuk kuliah di jurusan yang dipilih, sudah tahu kan resikonya kira-kira mengikuti perkuliahan eksakta itu seperti apa, tentu agak berbeda dari mereka yang mengambil jurusan-jurusan sosial. Kalau sudah demikian, dimana 'settingan' seperti yang anda buruk sangkakan itu?
Tolonglah, ketidak mampuan membag waktu antara kegiatan perkuliahan dengan kegiatan kemasyarakatan, jangan dialihkan dengan alasan yang tidak masuk akal/buruk sangka. Tidak mampu ya tidak mampu saja. Sekali lagi, mahasiswa, hindarilah mengambil suatu kesimpulan berdasarkan suka atau tidak suka, prasangka-prasangka buruk, fokuskan sebagai senjata kalian itu data, fakta dan referensi yang akurat.
Catatan 3
Saya menganggap, sebelumnya, bahwa para ketua BEM itu akan menampilkan keunikan masing-masing sebagai suatu BEM dari universitas yang berdaulat dan memiliki integritasnya sendiri-sendiri (seperti telah dikatakan oleh Najwa sebelumnya), tetapi fenomena yang terjadi dalam acara Mata Najwa malam itu adalah sepertinya BEM-BEM yang lain itu menjadi BEM yang subordinat dari BEM UI, hanya mengekor kepada apa yang dikatakan dan telah dilakukan oleh BEM UI. Sebagai contoh adalah, tidak ada satupun dari BEM-BEM tersebut yang melakukan kritik terhadap penyampaian kartu kuning BEM UI.
Yang saya sampaikan ini didasarkan kepada dua hal, pertama adalah pendapat beberapa mahasiswa yang diwawancarai di awal acara Mata Najwa tersebut yang menyatakan bahwa tindakan ketua BEM UI tidak pantas. Kedua adalah hasil polling yang dilakukan oleh detik.com yang menyajikan data tentang 'apa pendapatmu terkait aksi mahasiswa beri kartu kuning untuk Presiden Jokowi?' Hasil polling menunjukkan bahwa 62,56% menyatakan tidak pantas, 19,21% menyatakan wajar dan 18,23% menyatakan kreatif.