"Upik...tunggu!!" teriak Dhimas.
Tak kuhiraukan panggilan itu, aku bergegas pergi dengan langkah lebar, setengah berlari aku tinggalkan Dhimas. Entah bagaimana parasnya melihat perilaku tadi. Ingin aku berteriak menumpahkan rasa kesal, kecewa, dan segala macam rasa yang bercampur aduk dalam hatiku.
Kutaklukkan kegundahanku dengan duduk di pojok ruang baca perpustakaan. Kuatur hatiku agar lebih tenang dan berpikir lebih jernih. Setelah membaik, kucari novel untuk membuat suasana hatiku lebih terjaga. Sebaris demi sebaris kalimat-kalimat dalam novel kulumat habis. Sampai pada satu kalimat...
"Jodho wis ginaris saka Kang Maha Kuwasa, golek jodho sakdrajad sakpangkat supaya uripmu seneng. Yen drajad lan pangkat kadohen bedane, uripmu bakal rusak amarga nandang abot sakjroning uripmu".Â
Aku tercekat membaca kalimat berbahasa Jawa yang artinya bahwa jodoh sudah diatur oleh Tuhan. Sederajat dan sepangkat saja dalam mencari jodoh agar hidup kita bahagia karena jika terlalu jauh perbedaan derajat dan pangkat itu kita akan dibebani oleh perbedaan tersebut.
Ah...Tuhan menyelesaikan masalahku melalui buku ini. Kuputuskan dengan mantap tidak ada seulas senyum untuk Dhimas di pertemuan Sema nanti siang.
****
"Jadwal sidang skripsimu minggu depan ya Pik. Tolong persiapkan sebaik-baiknya jangan bikin malu saya!" Pak Fathur dosen Pembimbing II skripsiku memperingatkanku.
"Siap Bapak, insyaallah saya siapkan sebaik-baiknya!" sahutku mantap.
"Jangan  lupa temui Pak Nardji dulu, minta doa restu beliau. Semoga sidang berjalan lancar dan kamu bisa lulus!" tambah Pak Fathur. Aku pun mengangguk mengiyakan sambil berjabat tangan tanda pamit.
Beruntungnya aku mendapat dosen pembimbing yang luar biasa baik, penuh pengertian dan selalu membantu kesulitanku. Masih segar dalam ingatanku, saat konsultasi bab IV aku pernah mengumpulkan potongan ketikan konsultasi sebelumnya yang kusambung dengan ketikan baru hasil perbaikan. Saat itu, aku benar-benar capai dan harus mengejar tenggat waktu. Entah dapat ide konyol dari mana aku. Jangan bayangkan seperti sekarang yang bisa copy paste, cetak. Dulu harus ketik ulang pakai mesin ketik manual. Boro-boro pakai komputer, mesin ketik pun dapat pinjaman dari tetanga yang berbaik hati meminjamiku. Saat ingat hal itu, aku pun geli dengan kekonyolanku tersebut.