Namaku Diana Palupi Indah Sari, panggilanku simpel UPIK. Hmm....Si Upik Abu? Pernah baca dongeng popular itu khan? Gadis dekil yang bekerja siang malam melayani ibu tiri dan saudara-saudara tirinya. Gadis yang tak pernah merasakan kebahagiaan hingga datang Pangeran tampan ke rumahnya karena terpesona dengan bunga cantik yang ditanam Upik Abu. Cerita berakhir bahagia meski awalnya penuh derita. Ho..ho...
      Di dunia nyata, kisah sedihku tak beda jauh dari Upik Abu...penuh keprihatinan. Selepas lulus SMA, aku bertekad kuat untuk meneruskan pendidikan.
      "Bu...aku pingin kuliah...aku nggak mau jadi buruh. Aku ingin memperbaiki kehidupan kita. Izinkan aku kuliah ya Bu? Upik janji nggak akan menyusahkan Ibu... Upik bakal cari uang untuk biaya kuliah," pintaku pada Ibu.
      Dipeluknya tubuhku penuh kasih sayang sambil beruarai air mata. Anak semata wayangnya harus berjuang keras untuk dapat kuliah. Terbayang di pelupuk matanya peristiwa 12 tahun yang lalu. Suaminya meninggal saat perjalanan menuju ke Kalimantan untuk bekerja menghidupi Upik dan dirinya.  Upik baru berusia lima tahun ketika ayahnya pergi meninggalkan mereka untuk selama-lamanya.  Berbekal mesin jahit dan keterampilan menjahit dia menghidupi keluarga kecilnya selama ini.
      "Pik, TV peninggalan ayahmu, Ibu jual ya untuk bekal kamu mendaftar di IKIP Semarang? Semoga saja uang hasil penjualan TV ini cukup untuk bekal awal kamu kuliah," pinta Ibu.
      "Terima kasih Buk....Maafkan Upik telah memaksa Ibu untuk melakukan ini semua," timpalku sambil memeluk erat Ibu.
      "Tak apa Nak, semoga kamu sukses ya  Nduk...Ibu akan bahagia jika kamu bisa meraih impian dan cita-citamu."
      Uang hasil penjualan TV-lah yang menjadi modal awal aku kuliah. Uang itu kami gunakan dengan hati-hati. Agar lebih irit, aku dititipkan di rumah bibi yang kondisi ekonominya tidak lebih baik dari kami.
      "Upik, makan seadanya ya? Bibi cuman punya nasi dan sambal tempe Nak," ungkap adik perempuan ayah itu.
      "Alhamdulillah Bi ...Upik biasa makan seadanya kok. Bibi tidak perlu sungkan, justru Upik yang harus minta maaf karena sudah merepotkan Bibi."
      Direngkuhnya tubuh kurusku dan elusan lembut di kepalaku menentramkan kegundahan batinku. Situasi itu membuatku semakin bersemangat belajar dan bekerja demi cita-citaku menjadi "guru". Cita-cita yang sederhana mungkin bagi sebagian orang tetapi tidak bagiku.