"Lalu, siapa yang menyusui si tuyul?" Yu Marni begitu antusias bertanya..
"Siapa lagi kalau bukan Bu Lurah yang cantik itu!" tukas Mas Parjo dengan nada bangga; serasa dia adalah orang yang paling tahu soal praktik dunia pertuyulan.
Sejatinya, pengetahuan Mas Parjo tentang dunia pertuyulan itu diperoleh dari kasak-kusuknya dengan seorang pemuda bernama Nirwan, tetangga Pak Lurah. Nirwan acapkali mengintip kegiatan Pak Lurah menghitung uang dalam jumlah besar dari lubang kunci di malam hari. Dia bilang, Pak Lurah itu memelihara puluhan tuyul untuk mengumpulkan harta kekayaannya. Menurut penuturan Nirwan, salah satu ciri pemelihara tuyul itu adalah: suka merapatkan kedua tangan di belakang tubuhnya.
Konon, harga tuyul bergantung pada berapa banyak harta yang mampu dicurinya. Makin besar kemampuannya mencuri, makin mahal pula harganya.
                ***
Pak Prawiro---lurah Desa Wonodadi---sore itu tampak berjalan ke arah hutan di pinggir desa; hutan yang didesasdesuskan sebagai tempat keberadaan Pasar Tuyul. Tampak dia melangkah berhati-hati dan kepalanya menengok ke kanan-kiri dan belakang, seperti khawatir ada yang membuntutinya. Entah apa yang akan dilakukannya di dalam hutan. Tak ada orang yang berani menyelidikinya, karena hutan itu dikenal sebagi hutan yang angker; banyak setan penunggunya yang ganas serta menyeramkan. Masyarakat telah lama mengenal pameo tentang hutan itu: jalma mara, jalma mati (siapa saja yang mendatangi akan mati).
Namun, sungguh mengherankan, Pak Prawiro---setelah celingak-celinguk ke sana kemari---sama  sekali tak gentar ketika memasuki hutan yang menyeramkan itu. Bahkan, sekeluarnya dari sana, ia membawa dua kantong besar berwarna hitam. Tampak dia memanggul dua kantong itu dengan susah payah. Tak ada yang tahu apa isinya. Harta yang diperoleh dari tuyul? Hanya dia yang mampu menjawabnya
Malam itu di ruang belakang Pak Prawiro, tampak dirinya bersama istrinya---yang biasa dipanggil masyarakat dengan sebutan Bu Lastri---tampak sedang membicarakan sesuatu yang penting.
Bu Lastri terlihat sangat cantik di usianya yang masih 25 tahun, sementara Pak Prawiro sudah berusia 62 tahun. Dalam 5 tahun usia pernikahan, mereka tak kunjung diberi keturunan yang sudah lama didambakan.
Pak Prawiro sibuk menghitung dua kantong besar berisi lembaran uang berwarna merah; sesekali jarinya dibasahi dengan ludah, agar lancar menghitung.
"Jadi, Mas sekarang mendapatkan 10 miliar dari Pak Bos? tanya Bu Lastri dengan nada manja, sedikit genit.
"Ya, ini rezeki kita." Pak Prawiro menjawab sambil meneruskan hitungannya.