Berbicara kata "Desa" apa yang ada di benak anda ? Sebagian mungkin ada yang berkata Indah, Sejuk, Tanpa Polusi, mungkin ada juga yang bilang desa itu tempat pulang kampungnya dan berbagai analogi lainnya.Â
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2018, jumlah desa di Indonesia kurang lebih ada sekitar 83.391, apa yang kemudian menarik dari data ini ? yang menjadi menarik adalah sejak disahkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa diberikan kewenangan lebih besar untuk mengelola pemerintahannya sendiri, pembangunan sendiri dan juga kemandirian dari segi pengelolaan keuangan nya, karena mau tidak mau uang menjadi darah bagi pembangunan berkelanjutan di desa itu sendiri.Â
Dengan kewenangan pengelolaan keuangan sendiri, dikalikan jumlah desa yang begitu besar, berapa besar rupiah yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat kepada Desa-Desa di Indonesia ??? Mari kita lihat anggaran Dana Desa dari tahun ke tahun. Anggaran Dana Desa tahun 2015 di kisaran Rp 20,8 Trilyun, berlanjut ke 2016 sebesar Rp 46.9 Trilyun, kemudian 2017 & 2018 sebesar Rp 60 Trilyun, 2019 Rp 70 Trilyun dan terakhir di Rp 72 Trilyun (Sumber : Kementerian Keuangan), jumlah yang terus meningkat terus menerus dari tahun ke tahun.Â
Dengan data terakhir rata-rata dana desa tahun 2020 naik menjadi Rp960,59 juta dari sebelumnya Rp933,92 juta per desa di tahun 2019. Menjadi pertanyaan besar dari berbagai stakeholders desa, apakah desa sanggup dan sudah siap mengelola keuangannya sediri? Apakah SDM Desa sudah "capable" ? yang tidak kalah menarik adalah, apakah dana sebesar itu tidak akan dikorupsi oleh pejabat desa ?Â
Bagaimana nanti realisasinya dan transparansinya ? Transparansi atas pengelolaan dana Desa atau bahasa lainnya adalah keterbukaan akan menjadi topik yang akan dibahas kali ini, Mengapa dirasa perlu ?Â
Bukan menjadi rahasia lagi di sebagian desa-desa di Indonesia hal ini masih menjadi permasalahan, bahkan ada kesan desa dan perangkatnya terkesan tidak ingin diganggu oleh pihak luar soal informasi keuangan desa, bahkan cenderung menutup akses dari pihak luar.Â
Ada paradigma juga bahwa Kepala Desa ada raja-raja kecil di Pedesaan, mereka ingin memperkaya diri sendiri dan membangun dinastinya. Apa yang sebenarnya yang salah dari hal ini ? Dari banyak hal yang mungkin terjadi saya menyoroti 2 hal utama, apa saja ?
1. Sistem Berjenjang
Banyak syarat dan proses yang harus dipenuhi untuk pencairan Dana Desa. Meskipun tahun 2020 sudah dirancang bahwasanya Dana Desa langsung dikirim dari APBN pemerintah pusat, fakta dilapangan proses berjenjang dari Pusat ke Provinsi ke Daerah baru ke Desa masih terjadi di beberapa daerah dan desanya, ini adalah celah yang sangat terbuka untuk terjadinya praktik KKN yang terstruktur dan sistematis. Sebagai tambahan fakta, yakni pada tahun 2019 berdasarkan data ICW (Indonesian Corruption Watch) terdapat 46 kasus korupsi di sektor anggaran desa dari 271 kasus korupsi. Korupsi anggaran desa tercatat memberi kerugian negara hingga Rp 32,3 miliar.
2. Pengawasan Kurang Ketat
Pertama dan yang utama ada pengawasan dari internal desa itu sendiri, baik dari Masyarakat Desa, BPD (Badan Permusyawaratan Desa) dan Organisasi Perangkat Desa lainnya, tanpa partisipasi aktif mengawasi dan mengawal Dana Desa dan pengelolaannya, bukan tidak mungkin pelaksana pemerintahan desa akan menyelewengkan Dana Desa. Masyarakat desa harus kritis dan tidak boleh acuh atas aktivitas program Desa yang terjadi di Desanya, karena tidak sedikit masyarakat Desa yang menganggap masa bodoh atas program kerja Desanya. Disamping pengawasan pemerintah daerah ataupun pusat yang nantinya akan melengkapi proses monitoring dan evaluasi.