bansos dan angpaonya. Bagi yang menanti janji terealisasi, baik untuk memahami kendala anggaran pendapatan dan belanja daerah atau APBD, sebelum kecewa nanti.
Coblosan Pilkada 2024 telah telah usai. Calon dicoblos mungkin atas dasar  janji-janjinya, rekam jejaknya maupunPada sisi pendapatan APBD dipilah tiga: pendapatan asli daerah (PAD), pendapatan transfer, lain-lain pendapatan daerah yang sah. Pada sisi belanja APBD juga dipilah tiga: belanja operasi, belanja modal dan belanja tidak terduga.
Namun untuk membiayai janji kampanye hanya tersedia dua pilihan. Penghematan belanja pegawai/birokrasi dan/atau peningkatan PAD. Mengingat untuk sumber dana dari transfer, jumlah maupun teknis belanjanya ditentukan oleh pemberi transfer atau pemerintah pusat.
Fakta besarnya porsi belanja pegawai dalam APBD menjadikan debat kedua Pemilihan Bupati Magelang 2024 menghangat dan cenderung panas. Wujud rekonstruksi pertanyaannya: "Bagaimana mewujudkan janji, jika anggaran hanya cukup untuk gaji pegawai?"
Perdebatan bermula dari adanya ketentuan dalam UU no. 1 tahun 2022 yang mengatur maksimum belanja pegawai 30% dan minimum belanja modal 40%. Sementara saat ini belanja pegawai masih pada angka 42%.
Kondisi besarnya porsi belanja pegawai, umum terjadi di berbagai daerah. Misalnya, di kota Surakarta, total belanja 2024 Rp.2.390.233.576.749,00 sedangkan belanja pegawai mencapai Rp.823.655.868.157,00. Sehingga persentase belanja pegawai kota Solo sebesar 34%. kota Yogyakarta 38%.
Debat besarnya porsi belanja pegawai sejatinya telah berlangsung sejak orde baru. Pada saat itu anggaran belanja pemerintah dipilah dua. Belanja rutin dan belanja pembangunan.
Belanja rutin diperuntukkan bagi biaya operasional birokrasi, termasuk gaji pegawai. Umumnya disebut overhead cost. Para juru kritik menyasar pada besarnya belanja rutin.
Semasa reformasi pilah duanya menjadi belanja tidak langsung (BTL) sebagai pengganti belanja rutin dan belanja langsung (BL) sebagai pengganti biaya pembangunan.
Karena hanya namanya yang diganti, sementara isinya tetap, maka tetap saja  BTL melampaui besaran BL. Kemudian ditemukan akal, entah oleh siapa, untuk memindahkan beberapa mata anggaran dari belanja tidak langsung ke belanja langsung.
Yang dipindah ini disebut eks BAU (belanja administrasi umum). BAU mencakup: belanja alat tulis kantor, operasional dan perawatan gedung kantor (telepon, listrik, air minum), operasional dan perawatan kendaraan dinas, rapat dan koordinasi dalam dan luar daerah, dan lain-lain.
Dengan pemindahan BAU keseimbangan BL-BTL membaik, namun masih sulit untuk mencapai BL di atas 50%. Oleh karena itu, diterapkan sangsi bagi daerah yang belum dapat mencapai BL di atas 50% dikenakan moratorium atau tidak boleh menerima PNS baru.
Penyederhanaan Struktur Birokrasi
Ada beberapa kebijakan untuk Penghematan biaya birokrasi ini, antara lain melalui pembatasan rapat di hotel. Hasilnya, bagus bagi keuangan daerah, tetapi asosiasi pengusahan hotel dan restauran yang protes. Ada info, larangan rakor di hotel ini memangkas omset sekitar 40%.
Ada beberapa daerah yang berhasil melakukan efisiensi belanja operasional kendaraan dan rapat koordinasi. Namun, gerakan penghematan ini sporadic atau hanya di beberapa daerah dan tidak diikuti daerah lain.
Ada peluang penghematan di belanja operasional kendaraan. Baik karena jumlah dan nilai belanjanya. Jumlahnya banyak, karena setiap pejabat, mulai eselon IV hingga kepala daerah dan DPRD, mendapatkan kendaraan dinas. Spesifikasi kendaraan menyesuaikan eselon.
Pada setiap kendaraan dinas melekat biaya BBM, suku cadang dan perawatan atau servis. Kendaraan roda empat mendapatkan BBM 10 liter per hari, dalam 20 hari kerja per bulan.
Dengan demikian, diasumsikan pada setiap kendaraan roda empat melakukan perjalanan dinas 100 km. Sementara banyak pejabat yang rumahnya hanya sekitar 5 km dari kantor. Logikanya, tidak masuk bukan?
Misalnya, setiap hari pejabat yang bersangkutan melakukan perjalanan dinas ke kecamatan, maka sudah tersedia biaya rapat dan koordinasi dalam daerah atau rakondal.
Sebagai pemuncak upaya penghematan biaya birokrasi ini adalah penyederhanaan birokrasi. Dalam hal ini Menteri PANRB telah menetapkan Peraturan Menteri PANRB No. 6/2022 Tentang Pengelolaan Kinerja Pegawai ASN dan Peraturan Menteri PANRB No. 7/2022 tentang Sistem Kerja pada Instansi Pemerintah untuk Penyederhanaan Birokrasi.
Penyederhanaan birokrasi menjadi dua level eselon dilaksanakan melalui pengalihan Jabatan Administrator (eselon III), Pengawas (eselon IV), dan Pelaksana (eselon V) menjadi Jabatan Fungsional pada seluruh instansi pemerintah.
Pengalihan jabatan dilaksanakan baik pusat maupun daerah. Di pusat (34 kementerian, 7 sekretariat lembaga negara, 93 sekretariat lembaga non-struktural, 29 lembaga pemerintah non-kementerian, dan 2 lembaga penyiaran publik) dan daerah (34 pemerintah provinsi dan 514 pemerintah kota dan kabupaten).
Dalam penghematan belanja birokrasi, pengalihan jabatan atau pemangkasan eselon sangat strategis, karena pembiayaan birokrasi baik berupa tunjangan maupun pemberian fasilitas jabatan, berbasis eselon.
Take Home Pay
Selain, eks BAU masih banyak Belanja Langsung (BL) yang ujung-ujungnya belanja pegawai. Misalnya honor tim teknis pelaksanaan kegiatan, ada biaya perjalanan dinas, ada honor narasumber.
Jadi walaupun dalam BL ada pengeluaran yang bagi pegawai berubah menjadi take home pay. Maka, dibuat ketentuan semua honor yang melekat pada pelaksanaan kegiatan dialihkan ke mata anggaran belanja pegawai pada sub-anggaran tunjangan kinerja.
Pengalaman sekretariat daerah Prov. Jateng yang mengalihkan honor kegiatan menjadi tunjangan kinerja. Bahwa pada saat diterimakan sebagai honor tim, maka pejabat eselon II dapat memperoleh 50 juga hingga 60 juta per bulan. Namun, ketika disatukan ke dalam tunjangan kinerja penerimaan per bulan hanya 24 juta per bulan.Â
Namun, demi rasa keadilan seyogyanya gaji guru dan tenaga kesehatan dipisahkan dari kelompok belanja operasional atau overhead cost, karena sejatinya sesuai World Bank, gaji guru dan tenaga kesehatan adalah belanja modal atau human capital investment.
PAD
Upaya efisiensi belanja pegawai juga birokrasi, rupanya beririsan dengan take home pay, sehingga kuat resistensi. Bagaimana dengan upaya meningkatkan pendapatan asli daerah?
Sebagaimana terungkat dalam debat pilkada 2024. Paslon 1 menyampaikan kondisi capaian indictor kemandirian daerah, di mana saat ini rasio pendapatan asli daerah (PAD) hanya 17%. Sementara rasion PAD Kota Surakarta 36,76 %, dan rasio PAD kota Yogyakarta 39,31%.
Selama lima tahun (2019-2024) peningkatan PAD Kota Surakarta 51%, dan peningkatan PAD kota Yogyakarta 23%. Sementara peningkatan PAD kabupaten Magelang hanya 7%.
Dalam pelacakan secara daring, ada dua kendala peningkatan PAD. Pertama, Kebijakan untuk meningkatkan PAD, seperti menaikkan pajak atau retribusi, sering kali mendapat resistensi dari masyarakat dan pelaku usaha yang merasa terbebani oleh kebijakan tersebut.
Kedua, Kepala daerah atau anggota dewan yang sedang menjabat mungkin enggan mengambil kebijakan yang tidak populer, terutama menjelang pemilihan umum, karena khawatir kehilangan dukungan politik.
Hibah Bansos
Belanja hibah dan belanja bantuan sosial bagian dari belanja operasional. Belanja operasional lainnya belanja bunga, belanja barang dan jasa, belanja pegawai. Â
Belanja Hibah adalah dana yang diberikan kepada pihak lain untuk mendukung kegiatan yang berhubungan dengan kepentingan publik atau pembangunan daerah, seperti hibah kepada organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, atau kelompok masyarakat.
Belanja Bantuan Sosial, ada dua langsung dan tidak langsung. Bantuan Langsung: Pengeluaran untuk bantuan langsung kepada individu atau rumah tangga yang membutuhkan, seperti bantuan pangan atau bantuan pendidikan. Bantuan Tidak Langsung: Pengeluaran untuk program-program yang mendukung kesejahteraan masyarakat secara umum, seperti program kesehatan atau pembangunan infrastruktur sosial.
Namun, sesuai hasil berbagai riset dalam penyaluran hibah dan bansos bertendensi politik. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dalam penelitiannya di lima provinsi, yakni Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara mambuat kesimpulan: "Pengelolaan dana hibah masih bermasalah."
Sementara Kompas.com dalam artikel dengan judul "Jelang Pilkada, Ada Penyaluran Dana Hibah dan Bansos yang Tidak Transparan", Â diberi teaser pengelolaan dana hibah dan bantuan sosial di sejumlah daerah masih bermasalah dan rentan disalahgunakan untuk kepentingan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Â Â
Â
Demikian juga dalam pelaksanaan anggaran, selain belanja hibah dan belanja bantuan sosial, telah ditetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK). NSPK adalah pedoman yang digunakan untuk mengelola dan menyalurkan dana perimbangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah secara efektif, efisien, dan transparan.
Adanya NSPK berarti siapapun kepala daerahnya, pelaksanaan kegiatan harus seperti itu. Sehingga, ruang yang lebih leluasa untuk realisasi janji tinggal pada belanja hibah dan belanja bantuan sosial.
Namun, jangan salah sangka bahkan berprasangka kepala daerah hasil Pilkada sekedar penjaja hibah bansos, karena jika dekelola secara jeli sudah terbukti hibah dan basos cukup untuk membangun dinasti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H