"Tapi yah..." kata saya bingung mau mengatakan apa.
"Yuk ini peacocknya. Tolong cet rambut ayah sekarang juga." kata Ayah lagi sambil menyerahkan mangkok plastik berisi penghitam rambut ke tangan saya.
Bruk! Bangkrutlah bisnis uban saya!!!
Peristiwa ini memberi sebuah pemahaman yang sangat penting. Bahwa sejak kecil Tuhan sudah mengajarkan pada kita bahwa apa yang kita punya bisa saja hilang dalam sekejap kalau Dia menghendakinya. Jadi jangan pernah menggantungkan diri pada satu hal. Ada banyak hal lain yang bisa dilakukan selain apa yang sedang kita kerjakan saat ini. Ga ada gunanya meratapi nasib. Yang harus kita lakukan adalah bangkit lagi dan mencari celah untuk tetap mampu berdiri sendiri.
Lalu saya mulai mengecat rambut Ayah. Berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya, kali ini saya mengecat rambut Ayah dengan hati riang. Dengan perasaan tulus ikhlas walaupun saya tau pekerjaan ini ga ada upahnya.
Sudah lama sekali peristiwa itu berlalu. Dan tiada hari tanpa rasa rindu pada Ayah. Oh ya, ada satu hal lagi yang aneh belakangan ini. Kalo sedang jalan ngelewatin cermin, saya suka ngeliat bayangan Ayah saya, loh. Beberapa kali saya suka terkejut karena merasa ngeliat sosok Ayah berkelebat di dalam cermin. Setelah berkonsentrasi sejenak, saya jadi ngakak sendiri. Rupanya seiring dengan bertambahnya usia, penampilan saya semakin mirip dengan penampilan Ayah.
Hehehehehe...Al Fatihah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H