Tik tok tik tok! Waktu terus berjalan. Iseng-iseng saya memesan beberapa kudapan berupa kue cucur dan kue tete yang dipamerkan di dalam sebuah etalase. Di sana tersedia berbagai macam kue jaman dulu tapi dihidangkan dalam bentuk yang lebih mewah daripada kue aslinya. Rasanya lumayan enak. Sementara musik jaman kolonial terdengar tidak terlalu keras sehingga pengunjung masih bisa ngobrol tanpa perlu harus berteriak.
Setiap 2 menit saya menengok ke luar jendela berharap perempuan yang kemaren nongol lagi. Ya, Tuhan, berilah kesempatan sekali lagi, hambaMu janji kali ini tidak akan mensia-siakan berkahmu ya, Allah. Sampai pukul 6 sore, tidak ada tanda-tanda kemunculan perempuan yang saya tunggu. Akhirnya saya pun pulang dan bertekad untuk datang lagi esok hari di jam yang sama.
Seminggu berturut-turut, saya datang ke kafe itu, di jam yang sama, di tempat duduk yang sama, memesan kopi yang sama namun penantian saya ternyata tak kunjung tiba. Untungnya para waiter di situ sangat ramah. Ngeliat saya datang selalu sendirian, sesekali mereka mengajak ngobrol supaya saya tidak terlalu kesepian. Keramahan mereka membuat harapan saya yang mulai memudar kembali membara. When the world says 'give up' hope whispers, 'Try it one more time.'
Setiap hari, Jam 6 menjadi akhir batas penantian. Di jam itu saya memutuskan untuk pulang dari penantian yang sia-sia. Saya keluar dari dalam kafe dan berjalan sepanjang trotoar. Peristiwa ini membuat saya memahami bahwa keberuntungan tidak pernah datang pada orang yang selalu ragu-ragu. Padahal kalo, waktu itu, saya mau ikut naik taksi barengan dengan dia, bisa jadi hidup saya berubah.
Ah, kafe ini adalah satu-satunya saksi di mana saya berada di persimpangan dan, gobloknya, saya telah memilih tikungan yang salah. Eh, nama kafe itu apa, ya? Baru nyadar kalo saya gak pernah memperhatikan namanya. Dengan segera saya berbalik badan dan berjalan kembali ke tempat semula. Sesampainya di depan kafe, saya membaca sebuah tulisan tepat di atas pintu; 'Kafe Memori'.
Buset! Kok namanya begitu, sih? Apakah ini pertanda bahwa saya bener-bener gak akan pernah ketemu lagi dengan dia? Apakah bener pengalaman singkat itu hanya berujung pada memori? Tapi saya gak putus asa. Setiap hari saya masih tetap datang ke sana. Setiap malam saya berdoa, 'Dear God, I've tried my best. If today I lose my hope, please convince me that your plan is better than my dream. Amen.
Sampai saat ini, walaupun tidak setiap hari, saya masih suka datang ke Kafe Memori. Seiring berjalannya waktu, udah gak jelas lagi apakah saya ngopi di sana karena kafenya atau karena memorinya. Hehehe...
"Selesai, Bro," kata saya seraya menoleh pada Riziek. Anehnya orang itu terdiam dengan mata mendelong. Saya ikut terdiam menunggu reaksinya.Â
"Sekarang saya ngerti perbedaan tulisan blogger dan storyteller. Thanks, Om Bud." Akhirnya Riziek berkata pelan sambil menarik napas panjang. Dari suaranya, saya merasa ada sesuatu yang membebani pikirannya.
"Gue gak bilang tulisan gue lebih bagus, loh. Tulisan kita cuma berbeda genre," sahut saya mencoba membesarkan hatinya.
"Maksud, Om Bud, gimana?"