"Belum. Tapi ceritanya udah ada di kepala. Ntar gue tulis sembari makan."
Di dalam ruangan saya yang sempit itu kami makan berdua. Riziek rupanya sudah sangat bernafsu sehingga tanpa minta persetujuan saya, dia membacakan ceritanya dengan suara lantang.
"Okay saya bacain tuisan saya, ya? Ceritanya begini, Om:
KAFE MEMORI
Baru saja memasuki kafe Memori, udara dingin AC menyambut kedatanganku dan seketika membuat tubuh ini sejuk dan nyaman. Udara dingin dilengkapi dengan sapaan hangat dari seorang staff perempuan yang wajahnya dihiasi senyuman yang bukan main manisnya.
"Selamat datang di Kafe Memori. Untuk berapa orang, Bapak?" tanya perempuan itu. Suaranya begitu lembut membuat saya langsung betah sebelum waktunya.
"Saya sendiri," sahutku.
"Baik, mari ikut saya."
Di ruangan yang cukup besar itu, bau harum kopi mendominasi sementara sayup-sayup sebuah lagu jaman kolonial terdengar dari speaker-speaker yang ditempel di atas plafon.
Ini adalah pertama kali aku datang ke Kafe Memori. Seorang teman merekomendasikan tempat ini ketika kami mengadakan reuni SMA kemarin. Dan apa yang aku temukan ternyata jauh lebih bagus dari yang kubayangkan. Desain interiornya bergaya antik dengan campuran sentuhan modern masa kini.
Ketika pesanan datang, aku semakin takjub karena kopi dihidangkan dengan mug yang dulu sering dipakai oleh ayahku di kampung. Model dan obyek lukisannya sama tapi gaya lukisannya dibentuk dengan gaya vignette sehingga membuat mug itu seperti reinkarnasi tokoh lawas dengan enerji yang sangat kekinian.