Mohon tunggu...
Budiman Hakim
Budiman Hakim Mohon Tunggu... Administrasi - Begitulah kira-kira

When haters attack you in social media, ignore them! ignorance is more hurt than response.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Istri Saya Minta Cerai

30 Januari 2018   11:31 Diperbarui: 30 Januari 2018   20:23 2027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ini saya pinjam dan seizin dari Galang Press

"Cere'in gue! Cere'in gueee!!! Cere'in gueeeee!!!!!!!" Vina memekik sambil menangis menggerung-gerung.

Malam itu, untuk kesekian kalinya, kami bertengkar lagi. Sejak hari-hari pertama menikah, kami memang sering bertengkar tapi baru kali inilah dia mengucapkan kata minta cerai. Saya sampai shock dan cuma bisa berdiri diam, berusaha menahan emosi supaya tidak terpancing kemarahan yang akan membuat suasana menjadi lebih gawat.

Pernikahan memang tidak pernah mudah. Sampai tahun keempat, tidak terhitung berapa kali saya dan isteri bertengkar. Mungkin karena kami menikah di usia muda sehingga masih sulit mengontrol emosi. Bahkan tidak jarang kami bertengkar hebat hanya untuk masalah yang sangat sepele.

Perlahan tapi pasti, akhirnya saya berhasil meredam emosi.

Dengan suara perlahan, saya berkata, "Sebaiknya kita tidur dulu. Perceraian itu keputusan besar. Dan keputusan besar sebaiknya tidak dilakukan ketika kita sedang marah."

Isteri saya tidak menjawab. Dadanya masih kembang kempis diiringi suara sedu sedannya yang mengisyaratkan bahwa dia juga sedang menahan amarah yang bergejolak minta dimuntahkan.

"Kita lanjutkan pembicaraan ini besok pagi. Kalo lo masih punya keputusan yang sama, kita akan urus perceraian kita." Habis berkata begitu saya pergi meninggalkannya.

Besok paginya, isteri saya tidak berkata apa-apa. Dia melakukan kegiatan rutinnya seperti biasa seakan peristiwa pertengkaran tadi malam tidak pernah terjadi.

Dia menyediakan sarapan, membuatkan kopi, mengantar anak kami, Leon, ke sekolah. Leon waktu itu baru berusia 3 tahun.

Karena isteri saya bersikap begitu, saya juga nggak berani ngomong apa-apa. Saya biarkan perdamaian datang tanpa solusi. Dengan pikiran nggak tenang, saya pun berangkat ke kantor. Sepanjang hari di kantor, saya sulit untuk berkonsentrasi. Hati saya galau bercampur gundah gulana.

Walaupun akhirnya suasana menjadi normal kembali, kekuatiran akan ada perceraian terus mengganggu pikiran. Saya kuatir hal ini akan berulang. Siapa yang berani menjamin kami tidak akan bertengkar lagi. Siapa yang bisa menjamin bahwa isteri saya tidak akan minta cerai lagi. Pikiran itu membuat saya merasa harus mempersiapkan diri. Hoping for the best but expecting the worst.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun