Mohon tunggu...
Budiman
Budiman Mohon Tunggu... Guru - Penulis ⦁ Mubaligh ⦁ Guru

Penulis 2 buku non fiksi remaja (Kun Al Fatih 2017 dan Falyaqul Khairan 2018) ⦁ Mubaligh (Alumni Ma'had Kutubussittah Babussalam Makassar 2016 dan Ma'had Albirr Unismuh Makassar 2021) ⦁ Guru (SMA Wihdatul Ummah Takalar)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

8 Metode Periwayatan Hadis Beserta Contohnya

6 November 2022   21:10 Diperbarui: 6 November 2022   21:32 16826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mayoritas ulama membagi metode periwayatan hadis menjadi 8  macam: (1) al-sama' (2) al-ardh atau al-qiroah (3) al-ijazah (4) al-munawalah (5) al-mukatabah (6) al-i'lam (7) al-washiyyah dan (8) al-wijadah.[1]

Pertama: al-sama' (mendengar)

Yaitu seorang guru memperdengarkan hadis dengan hafalan atau membaca dari kitabnya kepada orang sedang hadir mendengarnya. Kalimat yang digunakannya seperti:

سَمِعْتُ ٬ حَدَّثَنا ٬ حَدَّثَنِي ٬ أخْبَرَنا ٬ أخْبَرَنِي ٬ قَالَ لَنا ٬ ذَكَرَنَا

Dengan cara ini umumnya ulama menyampaikan hadis Nabi kepada murid-muridnya secara lisan sementara muridnya mendengarkan. Hadis-hadis yang disampaikan itu kadang sudah dihafalkan, kadang juga hanya membacakan hadis-hadis yang sudah ditulisnya dalam suatu kitab

Menurut jumhur ulama, cara penerimaan hadis dengan al-sama' merupakan cara yang tertinggi kualitasnya. Namun ada ulama berpendapat bahwa yang tertinggi adalah hadis dengan cara al-sama' wal kitabah (mendengar sekaligus menulis), jadi tidak semata-mata al-sama' saja.

Ulama yang menganggap al-sama' merupakan cara yang tertinggi kualitasnya memiliki dua alasan pokok yaitu:

  1. Masyarakat pada masa Nabi masih menempatkan metode menghafal sebagai cara terbaik dalam menimba ilmu pengetahuan.

  2. Berdasarkan hadis Nabi saw. berikut ini:

تَسْمَعُونَ ويُسْمَعُ مِنكُمْ ويُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنكُمْ

"Kalian (para sahabat) mendengar hadis (dariku Nabi), kemudian dari kalian hadis itu didengar (oleh para tabi'in), lalu hadis dari orang  tersebut (para tabi'in) didengar (oleh atbau tabi'in)."[2] Contoh hadis dengan periwayatan al-sama',[3]

Sumber: Dokumen pribadi
Sumber: Dokumen pribadi

Kedua: al-ardh atau al-qira'ah ala syaikh (membaca di hadapan guru)

Secara etimologi, kata al-ardh berasal dari masdar 'aradha yang artinya menunjukkan atau memperlihatkan. Istilah lain yang biasa digunakan dalam metode ini adalah al-qira'ah. Secara terminologi maksudnya seorang murid menunjukkan dan membacakan sebuah riwayat kepada syaikh. Ketika membaca di hadapan syekh, murid membacanya dari kitab atau dari hafalannya dengan teliti. Sementara syaikh adalah seorang yang hafiz atau tsiqah. Syaikh memerhatikan dengan saksama hafalannya atau dari kitab aslinya atau dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan meneliti kecocokan isinya. Kalimat yang digunakan adalah 

قَرَأْتُ عَلى فُلانٍ ٬ وَأَنَا أَسْمَعُ فَأَقْرَأُ,قِرَاءَةً عَلَيْهِ

Cara menerima hadis dengan al-qira'ah dilakukan di hadapan guru. Sedangkan guru memperhatikan dengan saksama serta memberikan perbaikan jika diperlukan. Penerimaan hadis dalam bentuk ini tidak mutlak yang bersangkutan harus membacakan hadis, tapi bisa saja orang lain yang membacakan hadisnya. 

Ada pendapat yang mengatakan bahwa cara penerimaan hadis seperti ini lebih baik daripada al-sama'. Karena dengan cara ini, guru dapat membetulkan muridnya secara langsung jika terjadi kesalahan, sementara dengan cara al-sama' tidak ada orang yang membetulkan jika guru salah ketika menyampaikan hadis karena merasa sungkan. 

Dengan begitu dapat ditarik kesimpulan bahwa penerimaan riwayat dengan al-qira'ah pada dasarnya lebih korektif daripada penerimaan riwayat dengan cara al-sama'. Hanya saja murid yang membacakan hadis perlu memiliki kemampuan membaca yang baik dan benar sesuai kaidah kebahasaan, agar dapat mengefisienkan waktu.

Contoh hadis dengan periwayatan al-ardh atau al-qira'ah yaitu:[4]

Sumber : Dokumen pribadi
Sumber : Dokumen pribadi

Ketiga, al-ijazah (sertifikat atau rekomendasi) 

Cara ini merupakan jenis metode tahammul yang baru dan berbeda sama sekali. Namun masih berada dalam batas pemberian kewenangan seorang guru untuk meriwayatkan sebagian riwayatnya yang telah dia tentukan kepada seseorang atau beberapa orang yang telah ditentukan pula, tanpa membacakan semua hadis yang diijzahkannya. 

Metode ini masih diperselisihkan kebolehannya. Syu'ban bin al-Hajjaj sebagaimana dikutip oleh M. Syuhudi Ismail mengatakan bahwa sekiranya cara ijazah dibenarkan, niscaya periwayat hadis tidak perlu mengadakan perjalanan panjang untuk mencari hadis. Abu Zur'ah al-Razi mengatakan bahwa seandainya periwayatan dengan cara ijzah dibenarkan, niscaya ilmu pengetahuan hadis nabi akan lenyap. Namun mayoritas ulama hadis membolehkan jenis ijazah tertentu untuk periwayatan hadis. 

Jenis ijazah secara umum ada 2, yakni ijazah disertai munawalah dan ijazah murni atau al-ijazah al-mujarradah. Adapun ijazah disertai munwalah ada 2 bentuk; 

  1. Seorang guru hadis menyodorkan kepada muridnya hadis yang ada padanya, kemudian guru mengatakan: "anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis yang telah saya peroleh ini".

  2. Atau seorang murid menyodorkan hadis kepada guru hadis, kemudian guru itu memeriksanya dan setelah guru memaklumi bahwa dia juga meriwayatkannya, maka dia berkata: "hadis ini telah saya terima dari guru-guru saya dan Anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis ini dari saya." Bentuk ijazah ini dinilai sama kualitasnya oleh sebagian ulama dengan cara as-sama', dan sebagian ulama lagi menilainya sama dengan cara al-qira'ah.

Adapun periwayatan dengan ijazah murni, jenisnya bermacam- macam. Di antaranya adalah ijazah diberikan oleh guru hadis kepada:

  1. Orang tertentu untuk hadis tertentu,

  2. Orang tertentu untuk semua hadis yang sudah pernah didengarnya,

  3. Atau orang yang tidak tertentu, untuk hadis tertentu atau hadis yang tidak tertentu.

Kalimat yang digunakan misalnya,

حَدَّثَنا إِجَازَةً ٬ حَدَّثَنا إِذَنْ ٬ أَجَازَنِي

Contoh periwayatan dengan ijzah,[5]

Sumber : Dokumen pribadi
Sumber : Dokumen pribadi

Keempat, al-munawalah

Maksudnya, seorang ahli hadis memberikan sebuah kitab kepada muridnya agar seorang murid meriwayatkan darinya. Al-Munawalah ada 2 jenis yakni al-munawalah bersama dengan ijazah dan al-munawalah yang tanpa ijazah

Cara yang pertama: dilaksanakan dengan cara syaikh menyerahkan kepada orang yang mencari hadis, asli sesuai dengan yang didengarnya, dan berkata: 'Ini adalah hadis yang saya dengar', atau 'Ini adalah riwayatku dari fulan, maka riwayatkanlah hadis ini dariku.' Atau ucapaan: 'Saya mengijazahkan kepadamu riwayatnya  dariku'. Kemudian orang itu menetapkannya sebagai miliknya, entah nanti dia menghapusnya, menerimanya, atau menolaknya.

Gambaran lain pelaksanaannya adalah seseorang mendatangi syaikh dengan membawa kitab atau bagian dari hadisnya, kemudian dihadapkan di depan syaikh, lalu syeikh merenungkannya kemudian mengembalikan kepada orang itu dan berkata kepadanya: 'saya telah mengetahui apa yang ada di dalamnya, dan itu adalah hadisku dari fulan atau riwayatku dari guru-guruku, maka riwayatkanlah dariku, saya mengijazahkan kepadamu riwayatnya dariku.' Metode yang seperti ini shahih dan dapat diterima.

Yang kedua: menyerahkan tanpa disertai dengan ijazah. Gambaran pelaksanaannya seperti cara pertama, hanya saja ia mengatakan: 'Ini adalah dari hadisku atau dari yang saya dengar', tanpa mengucapkan 'riwayatkanlah dariku atau aku ijazahkan kepadamu riwayatnya' dan sebagainya. Dan menurut pendapat yang shahih tidak boleh meriwayatkan dengan munawalah yang seperti ini.

Kalimat yang digunakan adalah

ناوَلَنِي ٬ ناوَلَنَا ٬ أخْبَرَنا مُناولَةً

Contoh periwayatan dengan al-munawalah :[6]

Sumber : Dokumen pribadi
Sumber : Dokumen pribadi

Kelima, al-mukatabah/ al-kitabah (kiriman tulisan/surat)

Yaitu cara periwayatan di mana seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian hadisnya diperuntukkan kepada murid yang ada berada di tempat lain. Al-Mukatabah terbagi  dua macam; pertama, disertai ijzah, kedua, tanpa ijzah. Secara umum ulama membolehkan kedua metode ini. Bahkan al-mukatabah tanpa disertai ijzah dinilai lebih kuat daripada periwayatan dengan ijazah saja.

Di sisi lain, sekilas metode al-mukatabah memiliki kemiripan dengan metode al-munawalah sebelumnya. Untuk membedakannya dapat dilihat dari 2 perbedaan berikut ini:

  1. Al-Munawalah hadis-hadisnya tidak mesti dalam tulisan, sedangkan al-mukatabah hadisnya mesti tertulis.

  2. Al-Mukatabah ketika hadisnya dicatat, sejak awal telah ada maksud guru untuk diberikan kepada periwayat atau murid tertentu, sedangkan al-munawalah, maksud penyerahan dari guru kemungkinan baru muncul setelah hadis tersebut selesai ditulis.

Kalimat yang digunakan dalam metode al-mukatabah yaitu: 

أخْبَرَنِي بِهِ كِتَابَهُ ٬ أخْبَرَنِي بِهِ مُكتَابَهُ ٬ كَتَبَ إلَيَّ فُلَانٌ

Contoh periwayatan dengan al-mukatabah,[7]

Sumber : Dokumen pribadi
Sumber : Dokumen pribadi

Keenam, al-i'lam 

Maksudnya seorang syaikh memberitahukan kepada muridnya mengenai suatu hadis atau kitab tertentu yang merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya. Hadis itu telah didengarnya atau diambilnya dari gurunya juga. Atau perkataan lain yang senada, tanpa menyatakan darinya. Kalimat yang digunakannya seperti,

أخْبَرَنا إِعْلَامًا ، وَلَا أعْلَمَنِي إلَّا

Mayoritas ahli hadis berpendapat bahwa periwayatan seperti ini dibolehkan. Sebab pemberitahuan guru kepada muridnya berarti pemberian ijazah kepadanya. Sehingga hal itu menjadi indikator bahwa guru rela bila muridnya menyampaikan hadis-hadisnya. Ini adalah pendapat sebagian mutaqaddimin seperti Ibnu Juraij dan kebanyakan ulama mutaakhirin. Namun ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa penerimaan hadis dengan model al-i'lam harus disertai dengan pemberian ijazah, jika tidak maka periwayatan hadis itu tidak absah.

Bahkan dengan tegas Ibnu Shalah berpendapat bahwa periwayatan dengan cara al-i'lam tidak sah karena 2 alasan;

  1. Hadis yang diberitahukan itu ada kecacatannya, karena gurunya tidak menyuruh muridnya untuk meriwayatkannya.

  2. Cara al-i'lam serupa dengan pemberitahuan seorang saksi kepada orang lain atas suatu perkara, kemudian dia memberikan kesaksian tanpa izin dari saksi sebenarnya.

Meski demikian, mayoritas ulama tetap membolehkan periwayatan ini dengan beberapa alasan;

  1. Guru tidak menegaskan agar muridnya meriwayatkan hadisnya, tidak mesti ada cacat dalam hadis tersebut.

  2. Penganalogian al-i'lam dengan kesaksian seseorang pada suatu perkara tidaklah tepat sebab kesaksian membutuhkan izin, sedangkan periwayatan tidak selalu memerlukan izin.

  3. Bila periwayatan dengan cara as-sama' dan al-qira'ah dianggap sah meski tanpa izin dari guru, maka al-i'lam juga harus diakui keabsahannya meski tanpa izin guru.

Contoh periwayatan dengan al-i'lam,[8]

Sumber : Dokumen pribadi
Sumber : Dokumen pribadi

Ketujuh, al-washiyyah

Seorang syaikh yang punya riwayat hadis, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, berwasiat agar kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk meriwayatkan darinya. Kalimat yang digunakannya adalah 

أَوْحَى إِلَيَّ ، أوْصَانِي

Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa model penerimaan hadis seperti ini tetap boleh dengan meriwayatkan hadis-hadis yang telah diperoleh itu. Namun Jalaluddin as-Suyuthi tidak membolehkannya. Penerimaan Hadis seperti ini sebenarnya jarang terjadi.

Contoh periwayatan dengan al-washiyyah,[9]

Sumber : Dokumen pribadi
Sumber : Dokumen pribadi

Kedelapan, al-wijadah

Yakni seseorang dengan tidak melalui sama' atau ijazah, mendapat hadis yang ditulis oleh periwayatnya dalam bentuk sahifah (lembaran hadis atau kitab). Dalam hal ini biasanya seseorang memperoleh hadis Nabi yang termuat dalam kitab karya tulis ulama yang sezaman dengannya atau tidak sezaman. Bila penerima hadis tidak sezaman dengan pemilik kitab, maka al-wijadah baru dibenarkan jika si penemu sudah dapat membuktikan dengan benar bahwa tulisan tersebut asli milik seorang syekh. Oleh karenanya, al-wijadah harus diteliti kebenarannya, bisa melalui khabar mutawatir, atau kesaksian orang-orang terpercaya ataupun karena popularitas kitab tersebut.

Para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehannya meriwayatkan dengan cara al-wijadah. Ahmad Syakir salah satu yang tidak membolehkan periwayatan ini, sebab banyak orang di masa kini yang memperoleh informasi dalam berbagai kitab atau majalah kemudian berkata dengan menyandarkan seorang perawi hadis padahal tidak benar demikian. Menurut Syakir, perbuatan ini tidak terpuji sebab telah mengubah pengertian yang tidak benar. Orang tersebut telah merusak peristilahan ilmu hadis. Jika hal ini dibiarkan, maka akan terjadi pemindahan riwayat secara dusta.

Sebaliknya pendapat yang membolehkan periwayatan jenis ini, harus memenuhi syarat-syarat, antara lain;

  1. Tulisan hadis haruslah diketahui secara mutlak siapa periwayat sebenarnya

  2. Kata-kata yang digunakan untuk periwayatan haruslah menunjukkan bahwa asal hadis itu diperolehnya secara al-wijadah

Kalimat yang digunakan dalam periwayatan al-wijadah adalah: 

 وَجَدْتُ بِخَطِّ فُلَانٍ حَدَّثَنَا فُلَانٌ

 وَجَدْتُ فِي كِتَابِ فُلَانٍ بِخَطِّهِ حَدَّثَنَا فُلَانٌ 

 وَجَدْتُ عَنْ فُلَانٍ أَوْ بَلَغَنِي عَنْ فُلَانٍ 

وَجَدْتُ فِي نُسَخِهِ مِنْ كِتَابِ فُلَانٍ 

 وَجَدْتُ فِي كِتَابٍ ظَنَنْتُ أَنَّهُ بِخَطِّ فُلَانٍ

Contoh periwayatan secara al-wijadah,[10]

Sumber : Dokumen pribadi
Sumber : Dokumen pribadi

---

Referensi : 

1. M. Mustafa al-Azami. Studies Hadith Methodology and Literature, diterjemahkan oleh A. Yamin dengan judul Metodologi Kritik Hadis (Cet. II, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 37-44.

2. Abu Daud. Sunan Abu Daud, jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, 1968), h. 322

3. Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari  (Riyadh: Dar as Salam, 1999), no. 1.

4. Sulaiman As Sijistani. Sunan Abu Daud (Riyadh: Maktabah Al Ma’arif, tanpa tahun), no. 2915

5. Ahmad al-Baihaqi. Sunan Al Kubra (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), no. 618.

6. Syamsuddin Adz-Dzahabi. Siyar A’lam Nubala (Kairo: Dar Al-Hadits, 2006), jilid 14. h. 58.

7. Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari  (Riyadh: Dar as Salam, 1999), no. 237

8. Muhammad Al Ashbahani. Kitab al-Lathaif min Ulum al-Ma’arif (Beirut: Barnamij Jawami’ Al Kalim Syubkah Al Islamiyah, 2004) h. 61.

9. Sulaiman Ath-Thabrani. Ad-Du’a li Ath Thabarani (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992) no. 1650, h. 471

10. Abu Abdillah Al Qudha’i. Musnad asy-Syihab (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1986), no. 1417, h. 305.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun