Mohon tunggu...
Budiarto Shambazy
Budiarto Shambazy Mohon Tunggu... -

Minat saya menulis beragam. Mulai dari menulis sepakbola, musik, serta politik. Saya menulis Politika, kolom tetap di Harian Kompas. Di Kompasiana saya ingin share ilmu politik melalui halaman "Politiking", yakni ajang bagi kita untuk membahas politik, bidang pengabdian masyarakat yang sesungguhnya bertujuan mulia. Ia ibarat sekolah menengah berstatus "filial petang" semata-mata sebagai pelengkap Politika yang terbit di harian Kompas tiap edisi Selasa dan Sabtu. Mari kita saling berpolitiking!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Chicago, 4 November 2008

14 November 2008   14:19 Diperbarui: 22 Mei 2016   22:56 1453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alhasil, Election Night hanya mengakibatkan jatuhnya korban tujuh korban cedera. Itupun bukan karena tindak kekerasan, tetapi karena serangan penyakit mereka yang berusia cukup uzur. Bagi mereka yang lapar atau haus, tersedia puluhan foodstall yang menyediakan cokelat hangat, hamburger, dan sosis. Saya kesulitan mencari orang yang merokok. Rupanya kebiasaan buruk itupun untuk sementara ditinggalkan oleh perokok yang mau bersikap toleran menyambut datangnya harapan baru malam itu.

Sekitar pukul 22.30 suasana yang sudah riuh-rendah tiba-tiba meledakkan suara bagai letupan bom bertalu-talu. Beberapa monitor raksasa di sekitar Grant Park mengumumkan hasil penghitungan suara sementara dengan huruf-huruf besar kelap-kelip dan warna-warni: Obama Menang, Obama Menang! Sorak-sorai menyeruak makin memanaskan cuaca, teriakan ribuan orang amat memekakkan telinga, tak sedikit yang menjerit-jerit histeris, bahkan sebagian bergulingan bagai orang kesetanan. Buat saya pemandangan yang paling mengharukan sekaligus membuat bulu kuduk berdiri adalah menyaksikan banyaknya orang menangis sesenggukan atau meneteskan airmata.

Tanpa dikomandoi, ratusan ribu orang meneriakkan yel "Yes We Can!"tanpa henti. Saya mencatat dengan arloji, teriakan yang mirip koor itu tak kunjung stop selama sepuluh menitan. Dan seluruh mata tertuju ke panggung yang terang benderang, menunggu munculnya Obama. Tak ada lagi yang peduli dengan breaking news yang diumumkan Wolf Blitzer dari CNN atau pembawa-pembaca acara mashur dari berbagai stasiun televisi di Chicago. Semua tenggelam di dalam lautan yel "Yes We Can!"

Begitu Obama muncul di panggung setengah jam kemudian bersama istrinya, Michelle dan dua putrinya, Malia dan Sasha, suasana makin liar. Pesta telah dimulai! Mustahil Anda bisa mendengar suara Anda sendiri. Tak mungkin Anda bergerak leluasa karena dijepit himpitan massa. Saya yakin orang tak peduli lagi dengan keamanan diri masing-masing jika sampai terjadi hal yang terburuk. Namun, siapa pula yang sempat berpikir di tengah histeria massa yang mabuk kemenangan Obama?

"Halo Chicago....," Obama membuka pidatonya. Sekitar seperempat jam ia menyampaikan pidato realistis, tanpa bunga-bunga, dan minta dukungan rakyat menghadapi tantangan ke depan, terutama mengatasi krisis keuangan dan menarik pasukan dari Irak. "Saya takkan pernah lupa siapa yang layak menikmati kemenangan ini. Ia milik Anda semua...," kata Obama, yang di Konvensi Nasional Demokrat 2004 memperkenalkan diri sebagai "bocah kurus dengan nama yang aneh."

"Jalan ke depan masih panjang. Tebing yang kita daki makin curam. Kita mungkin belum akan sampai ke tujuan dalam satu tahun atau satu masa jabatan. Namun, Amerika, harapan saya tak pernah sebesar malam ini untuk sampai ke tujuan. Saya berjanji kepada Anda, kita sebagai bangsa akan sampai ke tujuan. Amerika, kita telah menempuh perjalanan panjang. Kita telah menyaksikan banyak hal. Tetapi, masih banyak yang bisa dilakukan."

"Jadi, malam ini marilah kita bertanya: jika anak-anak kita memasuki abad mendatang, perubahan apa yang mereka saksikan? Kemajuan apa yang kita hasilkan? Inilah kesempatan kita untuk menjawabnya. Inilah saatnya bagi kita. Inilah saatnya membuat tiap orang bekerja lagi dan membuka pintu bagi anak-anak kita untuk memulihkan kesejahteraan dan mencapai perdamaian untuk merebut kembali mimpi Amerika dan menegaskan lagi kebenaran yang paling hakiki bahwa kita adalah satu, kita tetap berharap selama masih bernapas. Dan pada saat kita menghadapi sinisme mereka yang ragu, kita akan menjawab dengan rasa yakin yang mencerminkan semangat sebuah bangsa: Yes, We Can."

Saya langsung menggumamkan lirik lagu "Take Me Back to Chicago" karya Chicago. "Take me back to Chicago/Lay my soul to rest/Where my life was free and easy/Remember me at my best....

***

DALAM perjalanan pulang ke hotel pikiran saya terbang jauh ke akhir 2006, ketika teman-teman Ufuk Press bertanya, "Apakah mungkin Obama bisa terpilih sebagai presiden?" Saya jawab, "Susahlah. Paling banter ia dipinang Hillary sebagai cawapres." Saat itu tak seorangpun di AS berani membayangkan seorang kulit hitam bisa diterima memimpin dari Gedung Putih. Apalagi Obama tergolong senator yunior yang baru tahun 2005 terpilih mewakili Negara Bagian Illinois di Senat, Washington, DC. Sebelum itu ia cuma senator lokal di Illinois.

Teman-teman Ufuk Press bertanya tentang kemungkinan itu sehubungan dengan permintaan mereka kepada saya menulis Kata Pengantar untuk buku kedua karya Obama, The Audacity of Hope: Thoughts on Reclaiming the American Dreams (2006) yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Buku tersebut menduduki peringkat pertama Daftar Buku Terlaku versi The New York Times. Menurut saya buku pertama Obama, Dreams from My Father: A Story of Race and Inheritance (1995) jauh lebih bagus karena ditulis dengan gaya fiksi sekalipun isinya merupakan cerita asli. Di buku pertama inilah Obama menceritakan perjalanan hidupnya sejak dilahirkan di Honolulu, akil balik di Jakarta, kembali ke Honolulu, sekolah ke Los Angeles dan New York, bekerja di Wall Street, sampai akhirnya ke Chicago memulai karier politik sebagai pekerja sosial/politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun