Mohon tunggu...
Budiarto Shambazy
Budiarto Shambazy Mohon Tunggu... -

Minat saya menulis beragam. Mulai dari menulis sepakbola, musik, serta politik. Saya menulis Politika, kolom tetap di Harian Kompas. Di Kompasiana saya ingin share ilmu politik melalui halaman "Politiking", yakni ajang bagi kita untuk membahas politik, bidang pengabdian masyarakat yang sesungguhnya bertujuan mulia. Ia ibarat sekolah menengah berstatus "filial petang" semata-mata sebagai pelengkap Politika yang terbit di harian Kompas tiap edisi Selasa dan Sabtu. Mari kita saling berpolitiking!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Chicago, 4 November 2008

14 November 2008   14:19 Diperbarui: 22 Mei 2016   22:56 1453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SEBAGAI wartawan yang telah bekerja selama seperempat abad di harian Kompas, saya merasa beruntung meliput Election Night di Chicago hari Selasa 4 November 2008. Pesta meriah yang dihadiri seperempat juta orang dari berbagai pelosok Amerika Serikat (AS) dan juga dari manca negara itu berlangsung di Grant Park di tepi Danau Michigan. Pesta yang berlangsung sejak Selasa malam sampai Rabu dini hari itu disiapkan jauh-jauh hari untuk menyambut kemenangan capres Demokrat, Senator Barack Hussein Obama Junior yang berpasangan dengan Senator Joe Biden. Undangan resmi bagi mereka yang diizinkan masuk ke lapangan dicetak hanya 70.000 tiket, sisanya numplek di wilayah taman yang luasnya 319 hektar itu.

Saya tiba di Chicago Sabtu 1 November disambut terik matahari bersuhu rata-rata lebih dari 22 derajat Celcius, kondisi alam yang disebut dengan Indian Summer. Cuaca nan ramah menjelang musim dingin seperti ikut gembira menyambut kemenangan Obama karena Indian Summer berlangsung sampai 5 November di kota ketiga terbesar di AS yang berpenduduk 2,9 juta jiwa itu. Sejak Sabtu kota yang jadi tempat Obama memulai karier politik sejak usia awal 20 tahunan itu sudah dihirukpikukkan oleh persiapan menyambut Election Night. Orang-orang tak berhenti hilir dan mudik di wilayah sekitar Grant Park bagai pantai tak henti diterjang ombak raksasa.

Tak lama setelah mendarat di Bandara O'Hare, saya begegas ke Pusat Seni di dekat Grant Park, tempat paling strategis untuk mengetahui informasi mutakhir tentang Election Night. "Bagaimana perkiraan orang yang datang sejauh ini? Jumlah sejuta orang yang ikut Election Night bisa tercapai?" saya iseng bertanya kepada seorang petugas. "Kalau melihat minat sejauh ini, ya mungkin saja," jawab seorang petugas perempuan kulit hitam paruh baya tersenyum lebar.

Ya, senyum tak pernah hilang di Chicago sepanjang Indian Summer itu. Itu pertanda kuat Obama akan menang sesuai prakiraan jajak-jajak pendapat yang nyaris tak pernah keliru meramalkan hasil akhir pilpres sejak 1964. Senyum itu juga menjadi simbol harapan tiap warga Chicago yang bangga putra mereka akan kembali mendiami Gedung Putih setelah lama absen. Terakhir kali dua putra kota yang tenar ke seantero dunia berkat kiprah band Chicago (awalnya bernama CAT atau Chicago Transit Authority, perusahaan pengelola sistem transportasi perkotaan) itu yang menduduki jabatan paling bergengsi itu Abraham Lincoln (1861-1865) dan Ulysses Grant (1869-1877).

Esoknya hari Minggu bukan seperti akhir pekan seperti biasanya di kota-kota besar AS yang lengang, terutama di pusat kota, karena semua orang liburan. Inilah hari terpenting bagi aparat menyiapkan semua detail pengamanan. Tiap jalan raya disisir, gedung-gedung pencakar langit diperiksa, para pejalan kaki diamati, dan daerah perbelanjaan Magnificent Mile di North Michigan Avenue yang tak pernah tidur karena pusat aktivitas pariwisata itu diawasi ekstra ketat. Kapal-kapal patroli US Coast Guard tak hentinya mengitari Danau Michigan.

Aparat pemerintah kota membangun panggung utama yang besar, panjang, dan lebar yang lebih mirip dengan panggung konser Rolling Stones. Di bagian depan ditempatkan kaca-kaca anti-peluru setinggi lima meteran untuk mencegah kemungkinan terjadinya hal yang terburuk. Para pejabat kota menyarankan warga tak memaksa masuk ke Grant Park karena terbatasnya kapasitas. "Tak mungkin saya mencegah warga jangan datang ikut pesta," kata Wali Kota Chicago Richard Daley. Ia mengharapkan berpencar ke tempat-tempat sekitar arena pesta yang dipagari dan dijaga ketat aparat keamanan.

Reli Election Night secara resmi dimulai pukul 20.30 waktu setempat, tetapi warga sudah mulai membeludak setelah berakhirnya jam kerja petang hari. Nyaris seluruh jalan menuju pusat kota ditutup, kecuali subway yang khusus dioperasikan sampai pukul 01.00 Rabu 5 November. Aparat keamanan melarang penjualan alkohol di tempat reli dan sekitarnya, hanya mengizinkan sejumlah kios menjual hot dog, piza, dan minuman cokelat panas. Warga juga dilarang membawa senjata tajam, tas, dan kamera ke dalam tempat pesta. Kaki lima sepanjang Michigan Avenue dimacetkan oleh manusia.

Empat dari lima pengunjun pesta mengenakan kaus, topi, kemeja, jaket, atau pin bergambar Obama. Sebagian kerumunan sengaja menduduki kaki lima untuk berpidato, bersorak, bernyanyi, atau sekedar berbagi cerita tentang Obama. Tak sedikit menyetel keras-keras minicompo mereka dengan lagu-lagu tema kampanye Obama, terutama "Yes We Can"karya Will.I.Am. Uniknya, tak sedikit pula yang berpidato panjang lebar meniru gaya Obama. Tak ada seorangpun pendukung John McCain berani datang karena Chicago keburu dilanda Obama-mania yang seronok dan semarak.

Ada beberapa pedagang kaki lima yang nekat menjual merchandising Obama palsu, yang kualitasnya jauh di bawah versi asli. Kaus, pin, topi, gantungan kunci, sampai celana dalam berwajah Obama yang tampak murahan dijual dengan harga yang ketinggian. Tiap sebentar mereka menoleh ke kiri dan kanan, takut digerebek aparat keamanan yang sesekali melancarkan razia. Mungkin nilai penjualan mereka tak banyak, namun ada saja pembeli yang terlanjur putus harapan karena mustahil membeli cendera mata Obama di hari yang amat bersejarah itu.

Merchandising resmi di toko-toko suvenir sudah terjual habis hanya dalam hitungan menit. Begitu stok baru datang, pembeli sudah menunggu meskipun harus antre selama berjam-jam. Jangan takut, harga tak bakal dicatut karena itu tindak pidana yang diancam hukuman berat. Tidak sedikit pembeli berubah fungsi jadi spekulan memborong kaus atau topi, lalu menjualnya lagi di kaki lima dengan harga yang berlipat ganda kepada siapa saja yang mau merogoh koceknya tanpa perlu ikut antrean panjang.

Dan tak satupun toko yang berani menjual alkohol sehingga tak ada rasa takut pesta berubah jadi kerusuhan yang menimbulkan kejahatan atau kekerasan karena ulah para pemabuk. Tenang menyaksikan kehadiran polisi yang dengan bertugas secara profesional, ketat, dan rapi. Mereka menggeladahi siapa saja yang mencoba-coba menyelundupkan alkohol. Ada saja yang nekat mau mengelabui polisi, tetapi umumnya tertangkap tangan dan barang haram bawaan mereka langsung disita. Saat memasuki Grant Park, polisi bahkan menyita puluhan tas, kamera, dan benda-benda tajam yang bisa dijadikan sebagai senjata.

Alhasil, Election Night hanya mengakibatkan jatuhnya korban tujuh korban cedera. Itupun bukan karena tindak kekerasan, tetapi karena serangan penyakit mereka yang berusia cukup uzur. Bagi mereka yang lapar atau haus, tersedia puluhan foodstall yang menyediakan cokelat hangat, hamburger, dan sosis. Saya kesulitan mencari orang yang merokok. Rupanya kebiasaan buruk itupun untuk sementara ditinggalkan oleh perokok yang mau bersikap toleran menyambut datangnya harapan baru malam itu.

Sekitar pukul 22.30 suasana yang sudah riuh-rendah tiba-tiba meledakkan suara bagai letupan bom bertalu-talu. Beberapa monitor raksasa di sekitar Grant Park mengumumkan hasil penghitungan suara sementara dengan huruf-huruf besar kelap-kelip dan warna-warni: Obama Menang, Obama Menang! Sorak-sorai menyeruak makin memanaskan cuaca, teriakan ribuan orang amat memekakkan telinga, tak sedikit yang menjerit-jerit histeris, bahkan sebagian bergulingan bagai orang kesetanan. Buat saya pemandangan yang paling mengharukan sekaligus membuat bulu kuduk berdiri adalah menyaksikan banyaknya orang menangis sesenggukan atau meneteskan airmata.

Tanpa dikomandoi, ratusan ribu orang meneriakkan yel "Yes We Can!"tanpa henti. Saya mencatat dengan arloji, teriakan yang mirip koor itu tak kunjung stop selama sepuluh menitan. Dan seluruh mata tertuju ke panggung yang terang benderang, menunggu munculnya Obama. Tak ada lagi yang peduli dengan breaking news yang diumumkan Wolf Blitzer dari CNN atau pembawa-pembaca acara mashur dari berbagai stasiun televisi di Chicago. Semua tenggelam di dalam lautan yel "Yes We Can!"

Begitu Obama muncul di panggung setengah jam kemudian bersama istrinya, Michelle dan dua putrinya, Malia dan Sasha, suasana makin liar. Pesta telah dimulai! Mustahil Anda bisa mendengar suara Anda sendiri. Tak mungkin Anda bergerak leluasa karena dijepit himpitan massa. Saya yakin orang tak peduli lagi dengan keamanan diri masing-masing jika sampai terjadi hal yang terburuk. Namun, siapa pula yang sempat berpikir di tengah histeria massa yang mabuk kemenangan Obama?

"Halo Chicago....," Obama membuka pidatonya. Sekitar seperempat jam ia menyampaikan pidato realistis, tanpa bunga-bunga, dan minta dukungan rakyat menghadapi tantangan ke depan, terutama mengatasi krisis keuangan dan menarik pasukan dari Irak. "Saya takkan pernah lupa siapa yang layak menikmati kemenangan ini. Ia milik Anda semua...," kata Obama, yang di Konvensi Nasional Demokrat 2004 memperkenalkan diri sebagai "bocah kurus dengan nama yang aneh."

"Jalan ke depan masih panjang. Tebing yang kita daki makin curam. Kita mungkin belum akan sampai ke tujuan dalam satu tahun atau satu masa jabatan. Namun, Amerika, harapan saya tak pernah sebesar malam ini untuk sampai ke tujuan. Saya berjanji kepada Anda, kita sebagai bangsa akan sampai ke tujuan. Amerika, kita telah menempuh perjalanan panjang. Kita telah menyaksikan banyak hal. Tetapi, masih banyak yang bisa dilakukan."

"Jadi, malam ini marilah kita bertanya: jika anak-anak kita memasuki abad mendatang, perubahan apa yang mereka saksikan? Kemajuan apa yang kita hasilkan? Inilah kesempatan kita untuk menjawabnya. Inilah saatnya bagi kita. Inilah saatnya membuat tiap orang bekerja lagi dan membuka pintu bagi anak-anak kita untuk memulihkan kesejahteraan dan mencapai perdamaian untuk merebut kembali mimpi Amerika dan menegaskan lagi kebenaran yang paling hakiki bahwa kita adalah satu, kita tetap berharap selama masih bernapas. Dan pada saat kita menghadapi sinisme mereka yang ragu, kita akan menjawab dengan rasa yakin yang mencerminkan semangat sebuah bangsa: Yes, We Can."

Saya langsung menggumamkan lirik lagu "Take Me Back to Chicago" karya Chicago. "Take me back to Chicago/Lay my soul to rest/Where my life was free and easy/Remember me at my best....

***

DALAM perjalanan pulang ke hotel pikiran saya terbang jauh ke akhir 2006, ketika teman-teman Ufuk Press bertanya, "Apakah mungkin Obama bisa terpilih sebagai presiden?" Saya jawab, "Susahlah. Paling banter ia dipinang Hillary sebagai cawapres." Saat itu tak seorangpun di AS berani membayangkan seorang kulit hitam bisa diterima memimpin dari Gedung Putih. Apalagi Obama tergolong senator yunior yang baru tahun 2005 terpilih mewakili Negara Bagian Illinois di Senat, Washington, DC. Sebelum itu ia cuma senator lokal di Illinois.

Teman-teman Ufuk Press bertanya tentang kemungkinan itu sehubungan dengan permintaan mereka kepada saya menulis Kata Pengantar untuk buku kedua karya Obama, The Audacity of Hope: Thoughts on Reclaiming the American Dreams (2006) yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Buku tersebut menduduki peringkat pertama Daftar Buku Terlaku versi The New York Times. Menurut saya buku pertama Obama, Dreams from My Father: A Story of Race and Inheritance (1995) jauh lebih bagus karena ditulis dengan gaya fiksi sekalipun isinya merupakan cerita asli. Di buku pertama inilah Obama menceritakan perjalanan hidupnya sejak dilahirkan di Honolulu, akil balik di Jakarta, kembali ke Honolulu, sekolah ke Los Angeles dan New York, bekerja di Wall Street, sampai akhirnya ke Chicago memulai karier politik sebagai pekerja sosial/politik.

Buku itu menjadi makin menarik ketika meriwayatkan kembali perjalanan fisik dan batin Obama mencoba menjejaki kembali negeri asalnya, Kenya untuk mengenal lebih dekat ayahnya yang cuma satu kali saja ia temui saat remaja di Honolulu. Ayahnya politisi, pejabat, ilmuwan, sekaligus juga tokoh nasional yang terlalu banyak kecewa kepada bangsa dan pemimpinnya sendiri. Ia berotak encer, mencatat rekor sebagai penerima beasiswa pertama dari Afrika di University of Hawaii, Honolulu. Di kota turis itulah ia bersua jodohnya yang sesama penerima beasiswa kulit putih asal Kansas City, Ann Stanley Dunham.

Pernikahan mereka bubar tak lama setelah Dunham melahirkan Barack Obama Junior tahun 1961. Ia kemudian mendapat beasiswa lagi ke Harvard, perguruan tinggi yang juga jadi Cawah Candradimuka yang mengasah kemampuan putranya menjadi seorang profesor hukum. Di Harvard pula Obama Junior mencetak sejarah baru menjadi kulit hitam pertama yang memimpin redaksi jurnal terkemuka Harvard Law Review. Di situ pula ia berjumpa jodohnya, Michelle.

Ann Dunham belajar tentang Indonesia, khususnya mengenai antropologi dan microfinancing. Ia jatuh cinta bukan cuma kepada Indonesia, namun kepada Lolo Soetoro yang juga sedang belajar di University of Hawaii. Setelah selesai sekolah duet akademisi Soetoro-Dunham pindah ke Jakarta. Di Ibukota Indonesia ini Dunham memulai penelitiannya membantu pemberdayaan ekonomi lokal kaum ibu di Jawa Tengah. Di Jakarta ia melahirkan adik tiri Obama, Maya Soetoro. Obama sempat sekolah di SD Katolik Assisi dan SD Negeri Besuki selama periode 1967-1971. Setelah itu ia dititipkan ke ayah dan ibu Dunham yang berdiam di Honolulu, yang merawat Obama sampai lulus dari SD/SMP/SMA Punahou yang eksklusif itu.

Obama tak pernah kenal ayahnya, yang menikahi empat perempuan yang memberikannya delapan anak. Dari penelusuran ke Kenya seperti yang ditulis di buku Dreams, ia akhirnya menyadari bahwa selain pandai, ayahnya sosok yang kontroversial. Misalnya, Barack Obama Senior ayah yang kurang bertanggung jawab sekalipun amat menyayangi semua bekas istri dan anak-anaknya. Ia berani mbalelo terhadap penguasa di Kenya demi mempertahankan kebenaran meskipun sikapnya itu justru mempersulit kehidupannya sendiri.

Bagi mereka yang mengenal dekat, Obama Junior merupakan putra hasil paduan ideal antara Obama Senior dengan Ann Dunham. Keduanya akademisi hebat sekaligus pengabdi masyarakat tulen yang tak pernah berharap pamrih. Tak heran Obama akhirnya berani mengambil keputusan meninggalkan pekerjaan bergaji tinggi sebagai pialang di Wall Street untuk mengabdi sebagai aktivis sosial yang mengurusi kalangan miskin di Chicago. Berkat prestasinya sebagai aktivis yang idealistis itulah Obama akhirnya dilirik dan direkrut oleh Partai Demokrat.

Ketika ia menjadi pembaca pidato kunci di Konvensi Partai Demokrat 2004 di Boston, bintang Obama langsung bersinar terang. Bayangkan, pada konvensi empat tahun sebelumnya di Los Angeles ia bahkan dilarang masuk ke tempat acara konvensi karena lalai mengurus kartu pengenal yang memenuhi syarat. Ia frustrasi dan langsung kembali ke Chicago. Ia mendapat tempat terhormat tahun 2004 itu berkat tawaran dari capres Partai Demokrat, John Kerry dan istrinya, Teresa Heinz-Kerry yang kebetulan sedang berkunjung ke Chicago.

Di konvensi 2004 itulah Obama menyampaikan pidato mengenai kebhinnekaan ala Amerika yang amat terkenal itu. Meskipun naik daun, belum ada yang berani berspekulasi Obama layak mencalonkan diri sebagai presiden sampai Oktober 2006. Adalah majalah Time edisi 23 Oktober 2006 yang pertama kalinya memperkenalkan Obama ke tingkat nasional melalui cerita sampul berjudul "Mengapa Barack Obama Bisa Jadi Presiden Mendatang" karya kolumnis top yang sering menulis soal kepresidenan AS, Joe Klein. Time menjadikan Obama sebagai cerita sampul karena dua alasan: pertama, ia sedang menjajakan buku Hope melalui book launching maraton ke berbagai kota di AS; kedua, demam Obama-mania sudah mulai menjangkiti AS.

Setelah mengumumkan pencalonan resmi sebagai presiden di Springfield, Illinois 10 Februari 2007, jalan bagi Obama makin terbuka lebar. Ia tidak langsung menjadi favorit terkuat, melainkan hanya salah satu dari beberapa capres yang dianggap kuda hitam karena ketika itu satu-satunya bintang adalah Hillary. Maklum saja mantan Ibu Negara ini telah dua kali terpilih sebagai senator yang mewakili Negara Bagian New York dan didukung kuat oleh kalangan mapan Partai Demokrat berkat sukses suaminya memimpin AS dalam periode 1992-2000. Tak ada yang menyangka Obama memenangi Kaukus Iowa (pemilihan pertama tingkat negara bagian) 3 Januari 2008.

Setelah Kaukus Iowa Obama tak terbendung lagi sampai akhirnya dinominasikan sebagai capres Partai Demokrat saat Konvensi Nasional Demokrat di Denver akhir Agustus. Konvensi itu memecahkan rekor baru, yakni terpaksa dipindahkan dari ruang tertutup ke ruang terbuka berkapasitas hampir 80.000 orang. Konvensi dipindahkan karena antusiasme rakyat yang ingin menyaksikan pidato Obama. Rekor terakhir dicatat capres Partai Demokrat, John F Kennedy saat konvensi tahun 1960 di Los Angeles yang disaksikan separuh dari jumlah penonton di Denver.

Tak ayal lagi, Obama mencatat sejumlah rekor baru lainnya. Bulan Agustus 2008 ia mencetak rekor pengumpulan dana kampanye 67 juta dollar AS. Sebulan setelah itu, September, rekor itu ia pecahkan lagi menjadi lebih dari dua kali lipat, yakni lebih dari 150 juta dollar AS. Total selama 21 bulan terakhir sampai 4 November 2008 Obama telah mengumpulkan dana kampanye lebih dari 600 juta dollar AS! Berkat angka yang fenomenal inilah jumlah dana kampanye kepresidenan yang dibelanjakan mencetak rekor baru, yakni menembus jumlah lebih dari dua miliar dollar AS. Ada lagi rekor lain, yakni jumlah donatur yang menyumbangkan uang untuk Obama yang mencapai lebih dari tiga juta orang.

Tentu saja rekor terpenting Obama ialah menjadi kulit hitam pertama yang terpilih sebagai presiden AS. Ini pencapaian amat bersejarah dan akan dikenang manis bukan hanya oleh warga hitam yang mencapai 14 persen dari total populasi 305 juta jiwa, namun juga oleh generasi-generasi mendatang dari berbagai ras, warna kulit, agama, dan aneka latar belakang lainnya. Ia mengalahkan McCain dengan jumlah suara yang terpaut jauh, yakni 65 juta berbanding 57 juta untuk McCain (data terakhir sampai artikel ini diterbitkan). Untuk Dewan Pemilih (Electoral College) jumlah elector yang direbut Obama bahkan lebih dari dua kali lipat dibandingkan yang direbut McCain, yakni 364:162 (total terdapat 538 elector) sampai artikel ini diterbitkan.

Obama telah membangkitkan harapan dunia yang sudah delapan tahun muak terhadap kepemimpinan Presiden George W Bush. Ia mengarang kebohongan untuk menyerbu dan menjajah Irak, bangsa yang tak bersalah yang mengakibatkan jatuhnya korban lebih dari 600 rakyat dan 4.195 serdadu AS (sampai 13 November 2008). Ia memerintahkan penyiksaan terhadap ribuan orang tak bersalah yang didakwa sebagai teroris di Gitmo, Abu Ghraib, dan puluhan penjara rahasia di manca negara. Ia memaksa pemberlakuan macam-macam undang-undang yang dengan sewenang-wenang mengintai privacy rakyatnya sendiri.

Tak mau "kalah" dengan Obama, Bush juga mencatat rekor baru: ia hanya didukung 24 persen rakyat (approval rate), angka terendah sepanjang sejarah kepresidenan AS. Bush mungkin akan mencatat sejarah lain sebagai mantan presiden yang mustahil melawat ke manca negara karena akan langsung diciduk dan diadili sebagai penjahat perang. Sampai kini Bush bahkan tak punya nyali untuk mengunjungi satu-satunya negara bagian di negerinya sendiri yang belum pernah ia datangi, yakni Vermont. Mengapa? Sebab Mahkamah Agung, legislatif, dan pengadilan di negara bagian itu telah mengeluarkan perintah penangkapan Bush yang mesti segera diadili karena pelanggaran konstitusional!

Dan Obama mengakhiri pula era Dinasti Bush dan Clinton yang selama 20 tahun terakhir memonopoli Gedung Putih sejak Presiden George HW Bush memerintah tahun 1988 disusul era Presiden Bill Clinton (1988-2000) serta Presiden George W Bush (2000-2008). Lebih dari itu "efek Obama" berhasil menjungkirbalikkan dominasi Partai Republik karena Partai Demokrat mengendalikan mayoritas secara mutlak di Senat dan DPR (House of Representatives).

Setelah pesta Election Night berakhir di Grant Park, saya berulang kali mengucapkan kata suci "alhamdulillah" mengucapkan rasa syukur kepada Yang Di Atas sana. Pengalaman batin di Chicago 4 November 2008 berbeda 180 derajat dengan apa yang saya alami di Washington DC 4 November 2004. Ketika itu rasa kecewa, amarah, dan sedih bercampur aduk karena Bush mengalahkan capres Partai Demokrat, John Kerry hanya karena kemunculan video ancaman Osama bin Laden secara tiba-tiba cuma empat hari sebelum 4 November.

Terima kasih Chicago! Dalam perjalanan pulang ke hotel saya menggumamkan lagi sebuah hit milik Chicago, "Saturday in the Park"yang amat populer di Indonesia tahun 1970-an. "Saturday in the park, you'd think it was the Fourth of July/People talking really smiling, man playing guitar singing for us all/Will you help him change the world, can you dig it/Yes I can, and Ive been waiting such a long time for today/People reaching people touching, a real celebration waiting for us all/If we want it really want it, can you dig it/Yes I can, and Ive been waiting such a long time for the day....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun