MENDUNG pada Selasa pagi. Hati enggan keluar rumah, tetapi kaki memaksa. Apa boleh buat, saya berangkat juga lalu berjalan menyusuri trotoar, membawa payung lipat sebagai antisipasi jika mendadak turun hujan lebat.
Mendekati masjid As-Sofia, Jl. RE Martadinata, Kota Bogor, terlihat sepeda motor berderet-deret di jalur pejalan kaki. Ditambah, puluhan mobil parkir di bahu jalan bagaikan ruang pamer dadakan sepanjang kurang lebih dua ratus meter.
Kegiatan ceramah dari ustadz Hilman di masjid As-Sofia menarik perhatian ratusan pengunjung, yang memarkirkan kendaraan di halaman parkir hingga trotoar dan bahu jalan.
Jumlah orang datang mengundang pedagang untuk mendapatkan peruntungan, yang kemudian menggelar dagangan atau menaruh gerobak di trotoar dekat gerbang masjid. Penjual minuman, semacam kebab, aneka kue, gorengan, mie ayam, ikan asin.
Hah? Ikan asin?
Ya! Seorang pria menggelar terpal plastik biru sebagai alas meletakkan beragam ikan asin dalam kantong plastik. Ada dua lembar kertas berisi tulisan, "Serba Rp5.000."
Sebelum menuntaskan penasaran di dalam kepala, saya menunggu pedagang itu menghabiskan semangkuk mie ayam panas dan tiga bungkus pangsit goreng.
Saya gagal menahan jakun untuk tidak bergerak. Cegluk. "Mang, bikin satu!"
Ternyata diplomasi mie ayam melancarkan perbincangan. Usai menghabiskan masing-masing isi mangkuk, saya memperoleh kesempatan berbicara dengan pedagang ikan asin itu.
Namanya, Adam. Berusia hampir 60 tahun. Berasal dari Riau. Bermukim di Kota Bogor sejak 1991. Menikah dengan wanita Sumatera Barat yang lahir di Kota Bogor.
Sudah dua tahun berjualan ikan asin. Sebelumnya, selama 17 tahun ia menyopiri seorang direktur dari Kota Bogor menuju tempat kerjanya di Jakarta. Usia menghentikannya sebagai sopir.
Setelah tidak bekerja, Pak Adam berjualan dompet wanita. Sasarannya, ibu-ibu pengajian di masjid-masjid dengan penceramah terkenal.
Penjualan dompet kurang bagus, ia beralih barang dagangan, yaitu menjual ikan asin. Menurutnya ikan asin adalah kebutuhan utama rumah tangga. Bisa lebih laris. Apalagi dikemas dengan harga terjangkau.
Ia kulak (beli dalam jumlah banyak) di grosir Jalan Pedati, Kota Bogor, dan mengemas ikan asin dalam bungkusan lebih kecil dengan harga eceran Rp5.000.
Saya menyaksikan, ibu-ibu baru datang yang bergegas umumnya melirik tulisan harga dan beragam ikan asin digelar. Sebagian menghentikan langkah, untuk memastikan bahwa harga ikan asin "cuman goceng" sebungkus, termasuk cumi asin.
Mereka mengatakan, akan membeli saat pulang, khawatir bau ikan asin menguar bila dibawa ke majelis. Namun, beberapa kembali karena takut kehabisan cumi asin jika membeli nanti.
Pak Adam menggelar ratusan bungkus ikan asin, tergantung perkiraan jumlah pengunjung sebuah ceramah. Pagi itu ia membawa sekitar 200 bungkus. Pada acara di masjid At-Tin, Taman Mini, Jakarta Timur, membawa sampai 500 bungkus.
Pedagang kaki lima ini "spesialis" menjajakan dagangan di acara-acara ceramah ustadz terkenal, seperti Hanan Attaki, Hilman Fauzi, Aa Gym, dan sebagainya.
Di antara waktu itu, ia membuka lapak pada Sabtu dan Minggu di sekitar Stadion Pakansari, Cibinong. Kadang ke pasar Citeureup, Kabupaten Bogor. Ia tidak mau berjualan di sekitar Pasar Anyar, Kota Bogor, sekalipun jauh dari bangunan utama.
Katanya, "Kebanyakan bayar pungutannya!" Maksudnya, pungli.
Untuk mobilitas, ia menggunakan sepeda motor. Wilayah jelajahnya meliputi Jakarta Timur, Bekasi, Depok, selain Bogor (Kota dan Kabupaten). Tergantung jadwal dan tempat ustadz terkenal melakukan kajian untuk umum.
Bagaimana ia mengetahui waktu dan lokasi tersebut? Nah ini kelebihan saya, ada saja bagian terlupa, seperti menanyakan hal penting semacam itu.
Bisa jadi ia memperoleh informasi dari medsos ustadz tertentu. Atau, berkat komunikasi dalam jaringan pedagang yang khusus mengikuti ceramah-ceramah keagamaan.
Pada saat penjualan tinggi, yaitu kala pembeli menyerbu, Pak Adam kelabakan melayani. Maka ia meletakkan kantong plastik di antara ikan, biar ibu-ibu memilih dan memasukkannya ke kantong. Pembeli tinggal lapor ke penjual, berapa yang mereka bawa.
"Kalau sudah begitu, saya pasrah dan percaya saja."
Jumlah pengunjung berkorelasi langsung dengan banyaknya barang terjual, 100 hingga 400 bungkus tergantung lokasi.
Di masjid As-Sofia ia bisa mendapatkan sedikitnya Rp500.000. Di tempat ceramah lain ia mampu meraih omzet hingga Rp2 juta. Itu pendapatan kotor, belum dipotong harga pembelian barang, makan, bahan bakar operasional, dan lainnya.
Ditanya berapa bersihnya, Pak Adam menjawab sambil tersenyum, "Alhamdulillah, cukup untuk keluarga."
***
Dari obrolan sederhana di atas saya menarik pelajaran bersahaja pula ihwal penjual ikan asin lima-ribuan tersebut:
- Ia cepat beradaptasi dengan kebutuhan pelanggan. Ikan asin merupakan kebutuhan terdekat ibu rumah tangga, ketimbang dompet.
- Dengan kemasan sesuai, harga terjangkau menjadi daya tarik bagi calon pembeli.
- Mendekati pembeli potensial, membuka lapak di masjid dengan acara ceramah dari ustadz terkenal. Umumnya pengunjungnya ibu-ibu.
- Mengikuti informasi kegiatan ceramah, terkait lokasi (di Jaktim, sebagian Bekasi, Depok, dan Bogor) dan waktunya.
- Sabar dan tidak mudah patah arang dalam berusaha.
- Berpikir optimis, dan
- Senantiasa bersyukur atas rezeki didapat.
Sebetulnya, saya ingin lebih lama berada di situ. Penasaran dengan keriuhan penjualan ikan asin yang digelar di trotoar. Pasti seru! Namun, waktu tak mengizinkan.
Saya merasakan tanda-tanda bahwa barang dagangan akan laris, ketika umumnya ibu-ibu baru datang, meskipun bergegas, sempat melirik barang dagangan dan bertanya-tanya ke penjual.
Itu mengekspresikan ketertarikan mereka terhadap ikan asin digelar di trotoar, terutama ihwal pernyataan harga yang dipasang atraktif.
Bisa jadi, usai mengikuti ceramah, ibu-ibu peserta bakal menyerbu ikan asin, yang dijual dengan harga sebungkus lima ribu rupiah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H