Katanya, "Kebanyakan bayar pungutannya!" Maksudnya, pungli.
Untuk mobilitas, ia menggunakan sepeda motor. Wilayah jelajahnya meliputi Jakarta Timur, Bekasi, Depok, selain Bogor (Kota dan Kabupaten). Tergantung jadwal dan tempat ustadz terkenal melakukan kajian untuk umum.
Bagaimana ia mengetahui waktu dan lokasi tersebut? Nah ini kelebihan saya, ada saja bagian terlupa, seperti menanyakan hal penting semacam itu.
Bisa jadi ia memperoleh informasi dari medsos ustadz tertentu. Atau, berkat komunikasi dalam jaringan pedagang yang khusus mengikuti ceramah-ceramah keagamaan.
Pada saat penjualan tinggi, yaitu kala pembeli menyerbu, Pak Adam kelabakan melayani. Maka ia meletakkan kantong plastik di antara ikan, biar ibu-ibu memilih dan memasukkannya ke kantong. Pembeli tinggal lapor ke penjual, berapa yang mereka bawa.
"Kalau sudah begitu, saya pasrah dan percaya saja."
Jumlah pengunjung berkorelasi langsung dengan banyaknya barang terjual, 100 hingga 400 bungkus tergantung lokasi.
Di masjid As-Sofia ia bisa mendapatkan sedikitnya Rp500.000. Di tempat ceramah lain ia mampu meraih omzet hingga Rp2 juta. Itu pendapatan kotor, belum dipotong harga pembelian barang, makan, bahan bakar operasional, dan lainnya.
Ditanya berapa bersihnya, Pak Adam menjawab sambil tersenyum, "Alhamdulillah, cukup untuk keluarga."
***
Dari obrolan sederhana di atas saya menarik pelajaran bersahaja pula ihwal penjual ikan asin lima-ribuan tersebut:
- Ia cepat beradaptasi dengan kebutuhan pelanggan. Ikan asin merupakan kebutuhan terdekat ibu rumah tangga, ketimbang dompet.
- Dengan kemasan sesuai, harga terjangkau menjadi daya tarik bagi calon pembeli.
- Mendekati pembeli potensial, membuka lapak di masjid dengan acara ceramah dari ustadz terkenal. Umumnya pengunjungnya ibu-ibu.
- Mengikuti informasi kegiatan ceramah, terkait lokasi (di Jaktim, sebagian Bekasi, Depok, dan Bogor) dan waktunya.
- Sabar dan tidak mudah patah arang dalam berusaha.
- Berpikir optimis, dan
- Senantiasa bersyukur atas rezeki didapat.