Namanya, Adam. Berusia hampir 60 tahun. Berasal dari Riau. Bermukim di Kota Bogor sejak 1991. Menikah dengan wanita Sumatera Barat yang lahir di Kota Bogor.
Sudah dua tahun berjualan ikan asin. Sebelumnya, selama 17 tahun ia menyopiri seorang direktur dari Kota Bogor menuju tempat kerjanya di Jakarta. Usia menghentikannya sebagai sopir.
Setelah tidak bekerja, Pak Adam berjualan dompet wanita. Sasarannya, ibu-ibu pengajian di masjid-masjid dengan penceramah terkenal.
Penjualan dompet kurang bagus, ia beralih barang dagangan, yaitu menjual ikan asin. Menurutnya ikan asin adalah kebutuhan utama rumah tangga. Bisa lebih laris. Apalagi dikemas dengan harga terjangkau.
Ia kulak (beli dalam jumlah banyak) di grosir Jalan Pedati, Kota Bogor, dan mengemas ikan asin dalam bungkusan lebih kecil dengan harga eceran Rp5.000.
Saya menyaksikan, ibu-ibu baru datang yang bergegas umumnya melirik tulisan harga dan beragam ikan asin digelar. Sebagian menghentikan langkah, untuk memastikan bahwa harga ikan asin "cuman goceng" sebungkus, termasuk cumi asin.
Mereka mengatakan, akan membeli saat pulang, khawatir bau ikan asin menguar bila dibawa ke majelis. Namun, beberapa kembali karena takut kehabisan cumi asin jika membeli nanti.
Pak Adam menggelar ratusan bungkus ikan asin, tergantung perkiraan jumlah pengunjung sebuah ceramah. Pagi itu ia membawa sekitar 200 bungkus. Pada acara di masjid At-Tin, Taman Mini, Jakarta Timur, membawa sampai 500 bungkus.
Pedagang kaki lima ini "spesialis" menjajakan dagangan di acara-acara ceramah ustadz terkenal, seperti Hanan Attaki, Hilman Fauzi, Aa Gym, dan sebagainya.
Di antara waktu itu, ia membuka lapak pada Sabtu dan Minggu di sekitar Stadion Pakansari, Cibinong. Kadang ke pasar Citeureup, Kabupaten Bogor. Ia tidak mau berjualan di sekitar Pasar Anyar, Kota Bogor, sekalipun jauh dari bangunan utama.