Di tempat itulah Fatah terdampar. Pada satu kota kecil yang bersisian dengan kota besar. Sebagian besar warganya mencari penghidupan di kota besar. Sebagian lagi berusaha mengais rezeki di kota kecil dengan banyak cara.
Dalam proses pencarian pekerjaan di kota besar tanpa mendapatkan hasil, ia teringat akan sahabatnya yang kabarnya memiliki usaha di kota kecil.
Pertemuan menggetarkan. Pelukan sahabat. Pembicaraan akrab mengenang tempo dulu. Di antara waktu, dengan wajah putus asa Fatah menyampaikan maksud. Sang sahabat memahami. Sangat memahami.
"Jadi, mau tinggal di gudang?"
Fatah mengangguk lalu mengambil kue di meja tamu. Perutnya lapar.
Indrawan sahabatnya menyodorkan gagasan agar membuka usaha. Kecil saja, seturut kemampuan Fatah. Sang sahabat akan memberinya sedikit modal sebagai pengungkit awal dan menyediakan tempat. Tidak perlu membayar sewa.
Tempat, tepatnya sebuah rumah sebagai gudang, yang berada di pojok persimpangan jalan menjadi tujuan Fatah. Halamannya luas untuk ukuran hunian di perumahan kelas menangah. Cukup untuk membuka usaha kecil.
Di dalamnya terdapat tumpukan persediaan dagangan. Indrawan membuka toko di tempat keramaian, bukan di perumahan.
Ada seorang penjaga. Sahabatnya mengenalkan Fatah kepadanya. Berarti, ia akan menghabiskan waktu bersama Agung. Itu tambah baik. Ada teman berbincang.
Fatah menyiapkan perlengkapan untuk berjualan mi dan kopi seduh, hidangan yang mudah ditelan dan banyak disuka.
Jalan di depan merupakan perlintasan. Lumayan ramai dari sejak pagi hingga malam sekitar waktu Isya. Mereka berangkat dan pulang sekolah atau kerja, atau untuk berbagai keperluan lainnya.