Nasi ambil sendiri dengan dua pilihan, putih atau liwet. Lauk dan sayur pilih sorangan. Banyak ragam sampai-sampai saya bingung. Mau ambil semua, perut tidak bakal muat dan isi dompet tidak akan cukup.
Dihitung, ada belasan wadah stainless steel berisi olahan ayam, ikan, dan daging. Di etalase sebelah terdapat aneka tumisan sayur, selain lalap segar (mentah).
Nasi liwet, pepes ikan mas, lalap, tempe, sambal terasi, dan sambal pencit (mangga muda) akhirnya mengisi piring. Minumnya, es jeruk.
Nasi liwetnya wangi. Pepes empuk hingga ke tulangnya. Tempe goreng, ya terasa kedelai difermentasi. Sambal terasi, terasa mantap banget.
Sambal mangga muda? Nah, ini sambal favorit yang jarang saya temukan di warung Sunda di Kota Bogor.
Singkatnya, gabungan masakan di atas merangsang nafsu makan, sehingga makanan ludes sampai titik butir nasi penghabisan. Bersih. Kalau tidak ingat kesehatan, mau banget menambah nasi anget.
Lidah mencecap rasa pas. Masakan tidak kebanyakan garam atau gula. Tidak pula hambar. Juru masak mengolah dengan cukup bumbu (bukan sekadar banyak penyedap buatan) dengan takaran tidak berlebihan. Barangkali, saya sudah terbiasa dengan makanan sedikit garam tanpa gula.
Beberapa kali saya makan di warung berbeda, masakan kadang terasa kebanyakan garam atau gula. Memang, penambahan sedikit gula pasir membuat masakan lebih terasa gurih. Â
Harmonisasi bumbu dan penyedap masakan di warung tepi jalan itu telah membentuk rasa seimbang. Cocok bagi lidah Jawa Timur saya.
Walaupun warung pinggir jalan, harga mesti dibayar lebih tinggi dibanding warung serupa, yaitu Rp50.000 lebih untuk sepiring makan dan minum segelas es jeruk. Mungkin karena ukuran lauknya lebih besar daripada umumnya di warung lain. Â