Penasaran, beberapa hari kemudian saya sengaja mampir lagi ke sana. Kali ini pilihannya adalah nasi putih (nasi liwet habis), tumis daun pepaya, saun selada segar, sambal pencit dan terasi, serta ikan nila berkuah.
Kata penjual, ikan dimasak pesmol tanpa santan. Menurut saya, lebih mendekati olahan pecak ikan. Apa pun, masakan ikan tersebut enak. Sayang tulang tidak bisa dimakan. Keras.
Ketika hendak membayar, penjual mengatakan sesuatu yang di telinga terdengar bukan seperti logat orang dari tanah Parahyangan.
Ah, ternyata pemilik warung berasal dari Semarang. Lah kok namanya "saung" yang membuat pikiran saya mengasosiasikannya dengan warung Sunda?
Bu Endang, pemilik warung, menjawab bahwa istilah saung juga ada di Jawa Tengah. Artinya, gubuk. Sedang, "trijoken" berarti tiga (tri) Joko Kendil (disingkat jadi Joken).
Tempat menyewa dari pemilik rumah, yang merupakan saudara dari Bu Endang. Awal-awal, ia membuka warung nasi tidak jauh dari lokasi sekarang. Di pinggir jalan juga.
Ia mengalami pasang surut usaha penjualan makanan selama sekitar 22 tahun. Dua puluh dua tahun! Perjalanan usaha makanan yang tidak sebentar.
Artinya, Bu Endang sudah sangat matang dalam menjalankan bisnis kuliner. Usaha yang saya duga tidak mudah goyah dan berubah-ubah mengikuti tren.
Kendati harga produk tergolong tinggi untuk ukuran warung sederhana di pinggir jalan, para pelanggan mestinya menyukai rasa masakan dengan aneka ragam pilihan menu.
Pengalaman 22 tahun menegaskan pernyataan di atas.