Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Bertahan 22 Tahun Jualan di Pinggir Jalan

20 Agustus 2024   07:09 Diperbarui: 20 Agustus 2024   07:12 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warung di pinggir jalan (dokumen pribadi)

Baranangsiang, Kota Bogor. Udara siang kawasan pada hari itu amat cerah. Terlalu cerah yang bikin suasana gerah.

Waktu makan sudah tiba. Pilihannya: restoran fast food, rumah makan besar hidangan masakan Sunda, restoran olahan bebek, atau masih ada gerai mentereng lainnya jika mau berjalan lebih jauh.

Namun, sebuah warung di tepi jalan menarik untuk dikunjungi. Bangunan sederhana tanpa sekat. Menempel pada pagar tembok sebuah rumah di Kompleks LIPI.

Warung Sunda. Namanya menguatkan kesimpulan, "Saung Trijoken"! Biasanya, diksi "saung" berhubungan dengan tempat makan masakan Sunda.

Tempatnya memanjang. Terpotong oleh gerbang keluar masuk penghuni rumah. Di sebelah kanan dari arah rumah tersebut terdapat etalase aneka menu pilihan makanan, dapur tempat memasak serta membuat minuman, dan tempat makan yang penuh pengunjung.

Aneka pilihan menu (dokumen pribadi)
Aneka pilihan menu (dokumen pribadi)

Aneka pilihan menu (dokumen pribadi)
Aneka pilihan menu (dokumen pribadi)

Pada bagian lain terdapat tempat untuk mengulek sambal. Di depannya disusun kursi meja makan. Belum ada yang menempati. Maka, di situlah saya duduk.

Mengulek sambel (dokumen pribadi)
Mengulek sambel (dokumen pribadi)

Tiga cobek sambel (dokumen pribadi)
Tiga cobek sambel (dokumen pribadi)

Nasi ambil sendiri dengan dua pilihan, putih atau liwet. Lauk dan sayur pilih sorangan. Banyak ragam sampai-sampai saya bingung. Mau ambil semua, perut tidak bakal muat dan isi dompet tidak akan cukup.

Dihitung, ada belasan wadah stainless steel berisi olahan ayam, ikan, dan daging. Di etalase sebelah terdapat aneka tumisan sayur, selain lalap segar (mentah).

Nasi liwet, pepes ikan mas, lalap, tempe, sambal terasi, dan sambal pencit (mangga muda) akhirnya mengisi piring. Minumnya, es jeruk.

Nasi liwet, tempe, lalap, sambel pencit dan terasi, pepes ikan mas (dokumen pribadi)
Nasi liwet, tempe, lalap, sambel pencit dan terasi, pepes ikan mas (dokumen pribadi)

Nasi liwetnya wangi. Pepes empuk hingga ke tulangnya. Tempe goreng, ya terasa kedelai difermentasi. Sambal terasi, terasa mantap banget.

Sambal mangga muda? Nah, ini sambal favorit yang jarang saya temukan di warung Sunda di Kota Bogor.

Singkatnya, gabungan masakan di atas merangsang nafsu makan, sehingga makanan ludes sampai titik butir nasi penghabisan. Bersih. Kalau tidak ingat kesehatan, mau banget menambah nasi anget.

Lidah mencecap rasa pas. Masakan tidak kebanyakan garam atau gula. Tidak pula hambar. Juru masak mengolah dengan cukup bumbu (bukan sekadar banyak penyedap buatan) dengan takaran tidak berlebihan. Barangkali, saya sudah terbiasa dengan makanan sedikit garam tanpa gula.

Beberapa kali saya makan di warung berbeda, masakan kadang terasa kebanyakan garam atau gula. Memang, penambahan sedikit gula pasir membuat masakan lebih terasa gurih.  

Harmonisasi bumbu dan penyedap masakan di warung tepi jalan itu telah membentuk rasa seimbang. Cocok bagi lidah Jawa Timur saya.

Walaupun warung pinggir jalan, harga mesti dibayar lebih tinggi dibanding warung serupa, yaitu Rp50.000 lebih untuk sepiring makan dan minum segelas es jeruk. Mungkin karena ukuran lauknya lebih besar daripada umumnya di warung lain.  

Penasaran, beberapa hari kemudian saya sengaja mampir lagi ke sana. Kali ini pilihannya adalah nasi putih (nasi liwet habis), tumis daun pepaya, saun selada segar, sambal pencit dan terasi, serta ikan nila berkuah.

Nasi, lalap, sambel pencit dan terasi, pesmol ikan nila (dokumen pribadi)
Nasi, lalap, sambel pencit dan terasi, pesmol ikan nila (dokumen pribadi)

Kata penjual, ikan dimasak pesmol tanpa santan. Menurut saya, lebih mendekati olahan pecak ikan. Apa pun, masakan ikan tersebut enak. Sayang tulang tidak bisa dimakan. Keras.

Ketika hendak membayar, penjual mengatakan sesuatu yang di telinga terdengar bukan seperti logat orang dari tanah Parahyangan.

Ah, ternyata pemilik warung berasal dari Semarang. Lah kok namanya "saung" yang membuat pikiran saya mengasosiasikannya dengan warung Sunda?

Bu Endang, pemilik warung, menjawab bahwa istilah saung juga ada di Jawa Tengah. Artinya, gubuk. Sedang, "trijoken" berarti tiga (tri) Joko Kendil (disingkat jadi Joken).

Tempat menyewa dari pemilik rumah, yang merupakan saudara dari Bu Endang. Awal-awal, ia membuka warung nasi tidak jauh dari lokasi sekarang. Di pinggir jalan juga.

Ia mengalami pasang surut usaha penjualan makanan selama sekitar 22 tahun. Dua puluh dua tahun! Perjalanan usaha makanan yang tidak sebentar.

Artinya, Bu Endang sudah sangat matang dalam menjalankan bisnis kuliner. Usaha yang saya duga tidak mudah goyah dan berubah-ubah mengikuti tren.

Kendati harga produk tergolong tinggi untuk ukuran warung sederhana di pinggir jalan, para pelanggan mestinya menyukai rasa masakan dengan aneka ragam pilihan menu.

Pengalaman 22 tahun menegaskan pernyataan di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun