Pria malang itu melamun. Matanya kosong menatap ruang hampa. Dengan napas berat ia mengangkat batu besar di dalam dada ke udara.
Geriginya gemeletuk. Rambut-rambut halus pada lapisan luar tangan berdiri tegak, sementara permukaan kulit mengeriput menahan gigilnya malam di tepi Curug Ratapan. Tak lama, ia menyeduh kopi.
Matanya berkeliling. Dua tenda berisi rombongan pendaki lain di sebelah sana telah memadamkan api unggun. Mereka tentu telah membenamkan diri di dalam kantong penahan dingin, setelah lelah menaiki jalan terjal.
Indra penglihat Baskoro berhenti pada satu wujud yang tidak terlalu jelas dalam gelap. Pandangan terpaku. Mata memicing.
Pria patah hati itu bangkit. Sambil memegang mangkuk bertelinga isi cairan kopi, ia berjalan perlahan mendekati seseorang berbaju putih yang duduk melamun di sebuah batu besar.
"Hai! Boleh duduk di sini?"
Wajah pualam menoleh. Matanya indah. Beku. Bibir pucat tanpa polesan lipstik sedikit membuka.Â
Baskoro mengartikannya sebagai persetujuan.
"Mau kopi? Nama saya Baskoro," meletakkan mug kopi di batu dan mengulurkan tangan.
Jemari lentik menyambut, "Sapta Kencana Sari. Panggil aku, Sari."
Baskoro menggenggam tangan dingin itu. Terlalu dingin. Sepertinya gadis dengan rambut sepunggung itu kedinginan.