Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jadwal Keberangkatan Kereta Kencana dari Curug Ratapan

10 Agustus 2024   07:05 Diperbarui: 10 Agustus 2024   07:19 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Curug Ratapan oleh Pixabay dari pexels.com

Dari ketinggian 25 meter, ujung dataran memuntahkan air. Energi kinetik dari kurang lebih 600 liter per sekon menghantam permukaan dataran bawah.

Air berton-ton selama bertahun-tahun berdebur melubangi lapangan di bawahnya sehingga membentuk ceruk. Limpasannya mengikis tanah menjadi memanjang yang mengalirkan air melalui lembah, desa-desa, perkotaan, hingga terbebas di laut di Selatan.

Di sekitar kedung terdapat batu-batu dengan permukaan licin bagai diasah dan berkilauan ketika ditimpa sinar rembulan. Tempat aman bagi pengunjung untuk memandang keindahan alam.

Jeram membentuk lingkaran-lingkaran. Makin jauh permukaan makin tenang, meskipun di bawahnya arus deras berpusar dan menyedot. Lokasi tampak menyeramkan dan tidak ada orang mau menjamahnya.

Syahdan, warga setempat berkisah. Pada masa yang telah lampau tersebutlah seorang gadis patah hati. Ia mengakhiri hidupnya dengan terjun ke kedung. Tubuh sang gadis berputar-putar, tersedot arus tanpa dapat ditemukan mayatnya. 

Sejak itu, pada malam-malam tertentu terdengar sayup-sayup ratapan berbaur dengan gemeretak dahan pohon-pohon besar di sekelilingnya.

Konon, arwah penasaran meratap dan mengajak siapa saja yang berani menceburkan diri ke air. Kepada pengunjung, warga selalu mengingatkan agar tidak berenang. Bakal terseret arus. Kalau memandang keindahan dari tepi sambil duduk di bebatuan, boleh.

"Curug Ratapan", kata warga, "datang ke sini jangan dengan pikiran kosong. Terpenting, jangan berenang!" (Bahasa Sunda, curug artinya air terjun).

Para pecinta alam kawakan biasanya mematuhi peringatan. Mereka menikmati kehidupan tetumbuhan, keindahan suasana, dan debur dalam gigil. Mengenyam alam damai, yang berbeda dengan hiruk-pikuknya kota.

***

Seorang pria patah hati mau mengikuti teman-temannya mengunjungi Curug Ratapan. Ia bukanlah pendaki, hanya ingin melupakan kesedihannya karena ditinggal sang pujaan hati.

Baskoro menjalin hubungan cinta dengan seorang gadis, yang dikenalnya di sebuah restoran legendaris di Jalan Braga. Perkenalan yang kemudian meningkat menjadi kisah kasih indah.

Cinta murni dan suci bertaut untuk hubungan lebih serius, yakni membina bahtera bersama sampai beranak cucu. Angan membuat mereka melayang. Dunia serasa milik berdua, di mana semua orang lain indekos atau mengontrak rumah petak.

Rencana yang demikian matang sontak hancur lebur, menjadi barang rongsokan ditendang-tendang ke tempat sampah. Sang kekasih mendadak tidak bisa dihubungi. Berwaktu-waktu, sehingga membuat kepala Baskoro pusing tujuh keliling sampai akhirnya pria tersebut mendapatkan titik terang,

Meskipun ini bukan zaman Siti Nurbaya, keluarga telah menjodohkan sang kekasih dengan pilihan --pastinya bukan Baskoro. Segala cara dilakukannya untuk meruntuhkan ketetapan, tetapi tiada yang pernah membuahkan hasil. Terputus sudah semua komunikasi yang paling mungkin dengan Baskoro.

Kejadian perjodohan tidak dikehendaki menghantam semangat Baskoro. Ibarat anak ayam kehilangan induk, ia tidak lagi mengerti apa yang mesti diperbuat dengan hidupnya.

Mau mengakhiri hidup, tidak punya nyali. Kemudian berteguk-teguk air api menemani malam-malam pedih, kendati tidak menghapus kenangan.

Teman-temannya merasa prihatin dengan keadaan Baskoro. Sebagian membujuk dan mengajaknya bertualang ke alam. Keindahannya dipercaya menghadirkan nuansa baru, rasa syukur, dan mengikis rasa kehilangan hingga melupakan pilu.

Maksud sebenarnya adalah menjauhkan Baskoro dari dunia minuman keras, membawanya ke dunia keindahan yang mendamaikan jiwa. Harapan mereka, Baskoro melupakan pengalaman buruknya dan menemukan gairah baru.

Di dalam benak Baskoro masih berperang pikiran-pikiran saling berlawanan yang telah membuatnya sulit tidur. Menimbang bahwa menaiki gunung merupakan satu pelarian bagus, pria belum berumur 30 itu mengiyakan ajakan teman-temannya.

***

Pria malang itu melamun. Matanya kosong menatap ruang hampa. Dengan napas berat ia mengangkat batu besar di dalam dada ke udara.

Geriginya gemeletuk. Rambut-rambut halus pada lapisan luar tangan berdiri tegak, sementara permukaan kulit mengeriput menahan gigilnya malam di tepi Curug Ratapan. Tak lama, ia menyeduh kopi.

Matanya berkeliling. Dua tenda berisi rombongan pendaki lain di sebelah sana telah memadamkan api unggun. Mereka tentu telah membenamkan diri di dalam kantong penahan dingin, setelah lelah menaiki jalan terjal.

Indra penglihat Baskoro berhenti pada satu wujud yang tidak terlalu jelas dalam gelap. Pandangan terpaku. Mata memicing.

Pria patah hati itu bangkit. Sambil memegang mangkuk bertelinga isi cairan kopi, ia berjalan perlahan mendekati seseorang berbaju putih yang duduk melamun di sebuah batu besar.

"Hai! Boleh duduk di sini?"

Wajah pualam menoleh. Matanya indah. Beku. Bibir pucat tanpa polesan lipstik sedikit membuka. 

Baskoro mengartikannya sebagai persetujuan.

"Mau kopi? Nama saya Baskoro," meletakkan mug kopi di batu dan mengulurkan tangan.

Jemari lentik menyambut, "Sapta Kencana Sari. Panggil aku, Sari."

Baskoro menggenggam tangan dingin itu. Terlalu dingin. Sepertinya gadis dengan rambut sepunggung itu kedinginan.

Maka dengan sungguh-sungguh dengan tidak bermasud pura-pura, pria tersebut melepas jaketnya, menyampirkannya ke badan dingin sang gadis. Toh, masih ada baju lumayan tebal untuk melindungi tubuh Baskoro dari serangan hawa dingin.

"Teman-temanmu sudah terlelap?"

Kegelapan menyamarkan anggukan. Terlihat Sari menyibak gelombang rambut yang menutupi keningnya, "Aku ... Aku sedang menghirup udara segar yang muncul dari air berjatuhan, sekalian menikmati heningnya malam."

"Saya mengganggu?"

"O, tidak, tidak. Tidak sama sekali. Bukankah kita mempunyai masalah sama?"

"Maksudmu ...?"

"Aku juga butuh ketenangan. Butuh pelarian untuk melupakan."

Baskoro menarik napas dalam-dalam lalu membatin, hey, dari mana ia bisa tahu? Bisa membaca pikiran?

"Aku tahu. Kau telah ditinggalkannya. Aku juga."

Baskoro menunduk. Tiba-tiba pedih melanda. Awan kelabu yang hampir berhasil disingkirkan menyembul kembali.

Lalu pria itu berkata lirih, "Entah, kenapa ia tidak mampu mengatasi keadaan. Meninggalkan begitu saja. Saya tahu, ia tidak berdaya. Ia berada dalam kungkungan keluarga, tapi masak sih tidak sanggup berontak?"

Baskoro berusaha menyelam ke dalam bola mata beku di sampingnya. Mendadak muncul rasa penasaran.

"Ceritaku sedikit berbeda. Dengan kemauan sendiri, dia meninggalkan aku demi perempuan lain. Perempuan keparat," sejenak terlihat mata Sari membara. Hanya sebentar, kemudian redup lagi. Dingin Kembali menyiksa.

Hening. Dua makhluk bercakap dalam diam. Memiliki pengalaman sama, meski berbeda cerita. Mereka sama-sama berada dalam keadaan buruk.

Rasa hangat menjalar dalam dada Baskoro. Pikirannya pelan-pelan turun dari langit untuk menjejaki bumi, karena sekarang ia punya teman senasib. Batinnya berkata, aku harus realistis! Lepaskan beban. Lepaskan kenangan. Toh ada harapan di depan, eh di samping.

Tiba-tiba Sari memutarkan kepala hampir sembilan puluh derajat. Pandangannya bercahaya. Ia menatap tajam kedua mata Baskoro tanpa kedip.

"Maukah engkau menemani hari-hari sepiku? Menuju wilayah di mana masa lalu tidak akan pernah mampu merecoki?"

Pucuk dicinta ulam tiba. Hati Baskoro menghangat, "Mau! Saya mau pakai banget." Sisi jenakanya mulai meletup setelah sekian lama terpendam. Pikiran terbang. Melayang. Sebuah harapan baru terbentang.

Tanpa dapat diduga sebuah kereta kencana berwarna emas -- atau memang terbuat dari emas -- berhenti di hadapan mereka. Sais menahan tali kekang. Kepala empat ekor kuda mendongak gagah.

"Ayo, naik!" Ajak Sari yang kini tampak sangat memesona. Sangat indah dalam pandangan Baskoro, yang tanpa sedikitpun ragu bangkit dan melangkah maju. Melompat. Duduk di samping ratu hatinya.

Ya! Saat ini Sari merupakan ratu di hati Baskoro. Sari berpenampilan bak ratu sebenar-benarnya seorang ratu yang berpendar keemasan.

Mengikuti perintah sang ratu, sais menarik tali dan mendesiskan aba-aba. 

Kuda-kuda mengangkat kaki depan mereka. Meluncur cepat dan kian cepat menapaki permukaan air. Kaki-kaki berlarian pada aliran sungai, melayang melalui lembah, membelah desa-desa dan perkotaan, menuju ke laut.

Kereta kencana emas gegas menghilang. Berangkat dari Curug Ratapan sesuai rencana menuju alam syahdu, yaitu ke dunia damai yang berbeda dengan hiruk-pikuknya kota.

***

Biodata:
Bukan Cerpenis. Bukan Sastrawan.
Hanya tukang tulis di bawah pohon manggis di tepi sebuah jalan Kota Bogor.

Foto diri (dokumen pribadi)
Foto diri (dokumen pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun