Baskoro berusaha menyelam ke dalam bola mata beku di sampingnya. Mendadak muncul rasa penasaran.
"Ceritaku sedikit berbeda. Dengan kemauan sendiri, dia meninggalkan aku demi perempuan lain. Perempuan keparat," sejenak terlihat mata Sari membara. Hanya sebentar, kemudian redup lagi. Dingin Kembali menyiksa.
Hening. Dua makhluk bercakap dalam diam. Memiliki pengalaman sama, meski berbeda cerita. Mereka sama-sama berada dalam keadaan buruk.
Rasa hangat menjalar dalam dada Baskoro. Pikirannya pelan-pelan turun dari langit untuk menjejaki bumi, karena sekarang ia punya teman senasib. Batinnya berkata, aku harus realistis! Lepaskan beban. Lepaskan kenangan. Toh ada harapan di depan, eh di samping.
Tiba-tiba Sari memutarkan kepala hampir sembilan puluh derajat. Pandangannya bercahaya. Ia menatap tajam kedua mata Baskoro tanpa kedip.
"Maukah engkau menemani hari-hari sepiku? Menuju wilayah di mana masa lalu tidak akan pernah mampu merecoki?"
Pucuk dicinta ulam tiba. Hati Baskoro menghangat, "Mau! Saya mau pakai banget." Sisi jenakanya mulai meletup setelah sekian lama terpendam. Pikiran terbang. Melayang. Sebuah harapan baru terbentang.
Tanpa dapat diduga sebuah kereta kencana berwarna emas -- atau memang terbuat dari emas -- berhenti di hadapan mereka. Sais menahan tali kekang. Kepala empat ekor kuda mendongak gagah.
"Ayo, naik!" Ajak Sari yang kini tampak sangat memesona. Sangat indah dalam pandangan Baskoro, yang tanpa sedikitpun ragu bangkit dan melangkah maju. Melompat. Duduk di samping ratu hatinya.
Ya! Saat ini Sari merupakan ratu di hati Baskoro. Sari berpenampilan bak ratu sebenar-benarnya seorang ratu yang berpendar keemasan.
Mengikuti perintah sang ratu, sais menarik tali dan mendesiskan aba-aba.Â