Kebiasaan saya menjajal kuah tanpa tambahan adalah untuk mengetahui, apakah kaldu bakso benar-benar gurih. Setelah itu mengiris pentol untuk menjajal kualitasnya.
Dari itu menentukan jenis dan jumlah kondimen yang akan ditambahkan.
Ternyata baso Tasik hanya memerlukan tambahan sambal dan sedikit cuka (saya lebih suka bila ada jeruk limau peras). Tidak usah ditambah kecap asin, apalagi kecap manis. Merusak rasa kuah.
Kuah beningnya terasa ringan, tidak berminyak, dan sedap menyegarkan. Pentolnya terbuat dari daging sapi dengan sedikit tepung tapioka. Berkelas. Kenyalnya pas dan tidak terasa micin.
Sambalnya istimewa. Sambal bawang yang belum pernah saya jumpai di tempat lain.
Sekalipun harga lebih mahal (setengah porsi Rp20 ribu) daripada bakso umumnya, rasa puas mencecap kuah sedap dan pentol enak telah membayar segalanya.
Berikutnya saya akan datang lagi untuk mencoba pangsit kuah yang tersohor, atau mi ayam yang tampak menggoda (atau bakso babat, kalau berani).
Itupun usai pemeriksaan lemak darah di laboratorium kesehatan.
Siang itu saya menyantap setengah porsi baso Tasik tanpa nasi. Ternyata cukup untuk makan siang, setelah pagi sebelumnya perut disesaki porsi ugal-ugalan pecel dari warung Umi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H