Merasakan gurih atau tidaknya kuah bakso adalah dengan mencicipinya tanpa ditambah kecap, sambal, dan kondimen lainnya.
Sebelum berjalan terlalu jauh, Sabtu pagi lalu mampir ke Warung Umi. Ngandok (makan di tempat) pecel untuk sarapan dan minum obat.
Pecel versi Kota Bogor, yang juga disebut gado-gado atau lotek, merupakan gabungan sayur matang, kadang ditambah tahu, lontong, dan kerupuk, yang diaduk dengan bumbu ulek dari kacang, gula merah, cabai, air asam.
Tanpa lontong harganya cuma Rp10 ribu, tetapi Umi memberikan porsi ugal-ugalan. Sepiring pecel atau gado-gado atau lotek bisa dimakan untuk berdua.Â
Berhubung punya kebiasaan makan sampai tuntas, saya menyantapnya pelan-pelan hingga habis.
Selanjutnya dengan membawa perut hampir meletus, berjalan kaki keluar masuk gang. Turun naik bantaran di sisi sungai Cipakancilan. Menuju Pasar Anyar Kota Bogor.
Melelahkan. Tangan dan sekujur tubuh berkeringat. Meskipun demikian, energi terkuras menempuh jarak 1,5kilometer tidak lantas membuat rasa kekenyangan hilang.
Di pasar tradisional. Setelah belanja makanan beku dan umbi-umbian sebagai pengganti nasi, terakhir membeli lauk jadi di Bu Koni. Penjual aneka sayur matang, gudeg dan krecek, semur jengkol, beragam masakan pepes, makanan keringan, dan sebagainya yang menempati satu bagian dari toko kelontong di dalam pasar.
Keluar dari pasar bergerak ke arah Alun-alun Kota Bogor, demi mencegat angkutan kota (angkot) yang melewati Jl. Suryakencana.
Pusat perdagangan itu disebut juga kawasan Pecinan. Di kiri kanan jalan berderet toko-toko. Di antaranya terselip hotel. Juga restoran, baik baru maupun yang sudah lama.
Umumnya tempat makan di sana menyediakan hidangan enak. Tidak mengherankan, Suryakencana merupakan salah satu tempat tujuan bagi pemburu kuliner.
Cocok. Pas pula dengan tibanya waktu makan siang, tetapi perut masih terasa penuh. Tidak ada keinginan untuk mengisinya dengan nasi, sehingga lebih baik menyantap hidangan ringan dan cair.
Cair? Soto? Eh, menyantap soto tidak seru jika tidak berikut nasi.
Aha! Bakso! Saya ingat kedai bakso favorit tahun 1980-an, yaitu restoran bakso babat.
Bakso ditambah potongan babat sapi dengan kuah bening yang sangat gurih. Sedapnya kaldu daging sapi bukan karena penyedap buatan. Namun sekarang tampaknya sudah tutup.
Berjalan lebih jauh ke arah toko Ngesti (penjual bahan makanan kualitas bagus) terlihat Baso Tasik. Tulisannya memang baso bukan bakso.
Ini restoran lama, menjual Chinese Food termasuk mi bakso. Sudah ada dari sebelum tahun 1990. Dulu mampir ke tempat makan itu untuk membeli cuka aren asli, selain makan bakso.
Dari depan tidak tampak seperti rumah makan. Tidak terlihat bahan makanan dipajang atau dandang mengepulkan uap kuah panas. Sekilas terbaca tulisan "HALAL" di satu sudut.
Masuk lebih dalam, menjumpai ruang makan dengan 8-10 meja. Dari daftar menu banyak makanan yang sepertinya lezat.Â
Sesuai tujuan semula saya memesan bakso tanpa micin. Setengah porsi. Setengah?
Mesti diingat, umumnya restoran Chinese Food memberikan porsi besar. Di daftar menu tertulis satu porsi bakso berharga Rp40 ribu. Terbayang bukan, berapa banyaknya itu?
Lima pentol bakso atau baso dan caisim (sayur sawi) dihidangkan dengan kuah bening. Sebelum menambahkan kondimen (kecap asin, kecap manis, sambal, cuka) saya menyeruput sesendok kuah.
Kebiasaan saya menjajal kuah tanpa tambahan adalah untuk mengetahui, apakah kaldu bakso benar-benar gurih. Setelah itu mengiris pentol untuk menjajal kualitasnya.
Dari itu menentukan jenis dan jumlah kondimen yang akan ditambahkan.
Ternyata baso Tasik hanya memerlukan tambahan sambal dan sedikit cuka (saya lebih suka bila ada jeruk limau peras). Tidak usah ditambah kecap asin, apalagi kecap manis. Merusak rasa kuah.
Kuah beningnya terasa ringan, tidak berminyak, dan sedap menyegarkan. Pentolnya terbuat dari daging sapi dengan sedikit tepung tapioka. Berkelas. Kenyalnya pas dan tidak terasa micin.
Sambalnya istimewa. Sambal bawang yang belum pernah saya jumpai di tempat lain.
Sekalipun harga lebih mahal (setengah porsi Rp20 ribu) daripada bakso umumnya, rasa puas mencecap kuah sedap dan pentol enak telah membayar segalanya.
Berikutnya saya akan datang lagi untuk mencoba pangsit kuah yang tersohor, atau mi ayam yang tampak menggoda (atau bakso babat, kalau berani).
Itupun usai pemeriksaan lemak darah di laboratorium kesehatan.
Siang itu saya menyantap setengah porsi baso Tasik tanpa nasi. Ternyata cukup untuk makan siang, setelah pagi sebelumnya perut disesaki porsi ugal-ugalan pecel dari warung Umi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H