Cocok. Pas pula dengan tibanya waktu makan siang, tetapi perut masih terasa penuh. Tidak ada keinginan untuk mengisinya dengan nasi, sehingga lebih baik menyantap hidangan ringan dan cair.
Cair? Soto? Eh, menyantap soto tidak seru jika tidak berikut nasi.
Aha! Bakso! Saya ingat kedai bakso favorit tahun 1980-an, yaitu restoran bakso babat.
Bakso ditambah potongan babat sapi dengan kuah bening yang sangat gurih. Sedapnya kaldu daging sapi bukan karena penyedap buatan. Namun sekarang tampaknya sudah tutup.
Berjalan lebih jauh ke arah toko Ngesti (penjual bahan makanan kualitas bagus) terlihat Baso Tasik. Tulisannya memang baso bukan bakso.
Ini restoran lama, menjual Chinese Food termasuk mi bakso. Sudah ada dari sebelum tahun 1990. Dulu mampir ke tempat makan itu untuk membeli cuka aren asli, selain makan bakso.
Dari depan tidak tampak seperti rumah makan. Tidak terlihat bahan makanan dipajang atau dandang mengepulkan uap kuah panas. Sekilas terbaca tulisan "HALAL" di satu sudut.
Masuk lebih dalam, menjumpai ruang makan dengan 8-10 meja. Dari daftar menu banyak makanan yang sepertinya lezat.Â
Sesuai tujuan semula saya memesan bakso tanpa micin. Setengah porsi. Setengah?
Mesti diingat, umumnya restoran Chinese Food memberikan porsi besar. Di daftar menu tertulis satu porsi bakso berharga Rp40 ribu. Terbayang bukan, berapa banyaknya itu?
Lima pentol bakso atau baso dan caisim (sayur sawi) dihidangkan dengan kuah bening. Sebelum menambahkan kondimen (kecap asin, kecap manis, sambal, cuka) saya menyeruput sesendok kuah.