Hampir 40 purnama aku menjalani hidup dengan memasak mencuci sendiri. Di ranjang pun seorang diri.
Pergi ke kedai nasi sederhana di ujung jembatan, hanya untuk minum segelas kopi dan secangkir air.Â
Tidak sekadar minum kopi, tetapi menghirup aroma menyenangkan dan menenangkan di pagi hari.
Setelahnya ada kelegaan emosional. Mungkin juga sebuah harapan indah. Siapa tahu?
Bukan berarti tidak pernah menikmati kopi di tempat lain. Pernah, dan aku tidak suka.
Pangkalnya, bakul kopi itu sangat ceriwis bikin kuping capek.Â
Setiap ingin berlama-lama mereguk kenikmatan kopi, ia mengurai segala keluhan perkara pribadi.
"Habis, gak ada temen ngobrol, sih!"
Lagi pula ia bukan tipeku. Terlampau mengingatkan pada masa lalu tidak mengenakkan.
Berbeda dengan di kedai nasi sederhana di ujung jembatan.
Penjual sudah hafal dengan seleraku, kendati baru sekali dikasih tahu.Â