Jarak Kota Bogor ke Jakarta adalah 60 km. Tepatnya 58,8 km melalui tol Jagorawi, kata Google Maps. Itu kalau berangkat dari Baranangsiang Bogor menuju jalan Sultan Agung Jakarta.Â
Berjarak kurang dari 40 km, apabila lewat Parung menuju Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Ceritanya lain lagi jika melewati Ralan Raya Bogor.
Dari Kota Hujan menuju Jakarta terdapat beberapa alternatif jalan bisa ditempuh. Tergantung wilayah mana yang dituju, waktu dimiliki, dan moda transportasi dipilih.
Saya kira Kereta Rel Listrik (KRL) merupakan sarana angkutan massal tercepat. Sampai stasiun tujuan, ya! Lebih dari itu, perlu angkutan lagi dengan waktu berbeda.
Kota Metropolitan berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat (Depok, Bogor, Bekasi) dan Provinsi Banten (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang). Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta memang luas.
Mengutip dari laman Jakarta.go.id luasnya adalah 662,33 km persegi. Meliputi 5 kotamadya (Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan) dan 1 Kabupaten Admistratif Kepulauan Seribu. Kemudian Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat,sampai dengan tahun 2022 populasi Jakarta mencapai 10,6 juta jiwa.
Maka luas wilayah dan jumlah penduduk mengukuhkan ibu kota negara sebagai kota terbesar di Indonesia. Selain menjadi tempat berinteraksinya aneka kebudayaan dan kegiatan politik, di dalamnya menggeliat beragam pusat bisnis penting.
Daya tarik itu menyeret saya menghampiri ke Jakarta pada tahun 1991, taklama setelah menamatkan sekolah. Ceritanya, ikut cari makan di perputaran ekonomi terbesar se Indonesia.
Kantor pertama adalah sebuah cabang dari perusahaan swasta nasional bidang jasa keuangan, berada di daerah Lebak Bulus. Untuk mencapainya, setiap hari kerja berangkat dari dan pulang ke Bogor naik kendaraan umum. Bukan bus atau beli tiket KRL.
Bus kecil seukuran Kopaja71, eh, Kopaja atau Metromini, melalui Parung bergerak super lelet. Ngetem dan berjalan lambat berkali-kali berhenti demi mengambil penumpang.Â
Sedangkan naik KRL, stasiun keberangkatan dekat dari rumah, tetapi stasiun kedatangan di Jakarta berjarak terlalu jauh dari kantor.
Oleh karena itu, naik angkutan kota adalah cara termudah dan tercepat, kendati mesti dua kali naik. Pertama, mencegat angkot jurusan Bogor-Parung. Lalu pindah ke angkot rute Parung-Lebak Bulus yang berlari bak mobil balap.
Sebagian besar perjalanan lancar. tiba di daerah Pondok Cabe dan Cirendeu jalan mobil berjalan tersendat. Terhambat oleh barisan kendaraan pribadi dan angkutan umum, yang juga terburu-buru mengantarkan penumpangnya agar tiba tepat waktu di tujuan.
Sopir angkot amatlah jeli. Ada celah tipis di kemacetan, ia menyelinap. Rupa-rupanya ada semacam tantangan di antara pengemudi angkot jurusan Parung-Lebak Bulus: beradu cepat agar sampai di tempat tujuan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Pernah sih mencoba naik mobil pribadi, tetapi sulit menandingi pencapaian waktu seperti angkot. Lagi pula biaya pembelian bensin melampaui kemampuan finansial seorang karyawan baru. Pakai sepeda motor? Waktu itu belum terpikirkan.
Setelah sekian lama, perjalanan pergi-pulang melelahkan berakhir. Bersama seorang kolega mengontrak rumah petak dekat kantor.
Menyewa dari warga asli yang memiliki beberapa "pintu" kontrakan, empang ikan lele, dan kebun anggek potong. Tidak sedikit warga Betawi di Kawasan Lebak Bulus mengandalkan penghasilan dari usaha serupa.
Selanjutnya mereka tergusur dan tergeser ke wilayah lebih pinggir, bahkan hingga ke Bogor. Lahan-lahannya dibeli oleh para pengembang untuk dibangun gedung bertingkat.
Berikutnya, tempat tinggal bergeser ke tempat kos di deerah jalan Fatmawati. Masih di Jakarta Selatan. Latar belakang penduduknya lebih beragam, termasuk sedikit keluarga Betawi. Pada waktu berbeda, pindah kos ke Pasar Minggu.
Lebak Bulus, Jalan Fatmawati, dan Pasar Minggu merupakan daerah Jakarta Selatan ketika itu berhawa sejuk. Dibandingkan dengan wilayah lain di Jakarta, bukan Bogor.
Perbedaaan itu dapat dirasakan setelah saya pindah ke daerah Setiabudi (masih di selatan, tapi mendekati wilayah pusat). Hawa lebih panas, suasana sumpek, dan lalu lintas ruwet.
Di sisi lain, tinggal di Kawasan Segitiga Emas memberi keleluasaan untuk lebih jauh menjelahi bagian lain dari Jakarta. Kadang naik mobil, lebih sering naik buskota atau bus lebih kecil.
Dengan menumpang buskota, kopaja (yang bukan Kopaja71), dan metromini dijamin tidak akan tersesat. Umumnya sampai ke terminal tujuan tertentu.Â
Namun mesti berhati-hati! Naik buskota di Jakarta adalah menyiapkan jiwa dan raga, siap berdesakan dengan risiko kecopetan.
Selain itu, badan harus mampu berdamai dengan hawa panas di dalam bus. Panas kuadrat hasil pencampuran panas udara luar, polusi udara, debu, panas mesin, dan bau tujuh rupa dari penumpang bersikutan.
Bergelantungan di atas bus seraya menikmati teriakan, makian, dan macet di jalanan. Maka turun di lingkungan dengan taman adalah oasis.
Pengalaman di atas dirasakan dalam selang waktu tahun 1991 sampai 2005/6-an. Keadaan transportasi umum sekarang bisa jadi jauh lebih baik daripada saat itu.
Sebaliknya, kini kemacetan pada jam-jam sibuk barangkali bertambah parah. Saya tidak bisa membandingkannya, mengingat belakangan ini nyaris tidak pernah ke Jakarta.
Perkara transportasi umum, polusi udara, panas, dan kemacetan merupakan sebagian permasalahan. Persoalan lain yang dihadapi Jakarta di antaranya: penanganan banjir, penyediaan air bersih, hunian layak, tata ruang.
Masalah-masalah tersebut sangat kompleks. Problem mendesak yang membutuhkan penanganan serius dan berkesinambungan. Jadi, masih banyak pekerjaan rumah bagi siapapun yang memimpin Jakarta.
Akhirnya, kendati bukan lagi menjadi warga DKI Jakarta, pada momentum hutjakarta496 (Hari Ulang Tahun ke-496 Kota Jakarta) saya berharap, agar segenap Pimpinan Jakarta bekerja sungguh-sungguh, fokus, terukur, dan berkesinambungan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di Ibu Kota negara kita.
Bekerja nyata, bukan hanya pandai menata kata dan menyusun rencana.
Selamat HUT ke-496 Kota Jakarta: "Jadi Karya untuk Nusantara"
Biodata singkat: Budi Susilo adalah petualang kata. Pernah punya KTP Jakarta. Sekarang berdomisili di Kota Bogor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H