Di sisi lain, tinggal di Kawasan Segitiga Emas memberi keleluasaan untuk lebih jauh menjelahi bagian lain dari Jakarta. Kadang naik mobil, lebih sering naik buskota atau bus lebih kecil.
Dengan menumpang buskota, kopaja (yang bukan Kopaja71), dan metromini dijamin tidak akan tersesat. Umumnya sampai ke terminal tujuan tertentu.Â
Namun mesti berhati-hati! Naik buskota di Jakarta adalah menyiapkan jiwa dan raga, siap berdesakan dengan risiko kecopetan.
Selain itu, badan harus mampu berdamai dengan hawa panas di dalam bus. Panas kuadrat hasil pencampuran panas udara luar, polusi udara, debu, panas mesin, dan bau tujuh rupa dari penumpang bersikutan.
Bergelantungan di atas bus seraya menikmati teriakan, makian, dan macet di jalanan. Maka turun di lingkungan dengan taman adalah oasis.
Pengalaman di atas dirasakan dalam selang waktu tahun 1991 sampai 2005/6-an. Keadaan transportasi umum sekarang bisa jadi jauh lebih baik daripada saat itu.
Sebaliknya, kini kemacetan pada jam-jam sibuk barangkali bertambah parah. Saya tidak bisa membandingkannya, mengingat belakangan ini nyaris tidak pernah ke Jakarta.
Perkara transportasi umum, polusi udara, panas, dan kemacetan merupakan sebagian permasalahan. Persoalan lain yang dihadapi Jakarta di antaranya: penanganan banjir, penyediaan air bersih, hunian layak, tata ruang.
Masalah-masalah tersebut sangat kompleks. Problem mendesak yang membutuhkan penanganan serius dan berkesinambungan. Jadi, masih banyak pekerjaan rumah bagi siapapun yang memimpin Jakarta.
Akhirnya, kendati bukan lagi menjadi warga DKI Jakarta, pada momentum hutjakarta496 (Hari Ulang Tahun ke-496 Kota Jakarta) saya berharap, agar segenap Pimpinan Jakarta bekerja sungguh-sungguh, fokus, terukur, dan berkesinambungan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di Ibu Kota negara kita.
Bekerja nyata, bukan hanya pandai menata kata dan menyusun rencana.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!