Kira-kira selama 13 tahun lebih Uda tidak mencatat secara khusus transaksi yang terjadi di tokonya. Tidak ada cash flow pun laporan keuangan. Tidak ada pembukuan.
Pemilik toko sembako itu mencatat pengeluaran dan pemasukan di dalam ingatan. Ia mengetahui fluktuasi harga barang dari membaca bon belanja grosir.
Grosir atau toko distribusi memberikan potongan harga berkat pembelian kodian. Memberikan ruang bagi penjual eceran untuk mengambil laba.
Maka dari itu, harga sembako atau barang kebutuhan sehari-hari di toko milik Uda sama dengan harga di pasar. Sebagian lainnya punya harga beti --beda-beda tipis.
Dari keuntungan itu pula Uda menghidupi keluarga dan menyekolahkan anaknya.
Mungkin juga Uda memiliki naluri berdagang turun-temurun. Bisa jadi jiwa entrepreneur terbentuk oleh pengalaman membuka toko sembako tanpa pembukuan.
Barangkali jika rapi mencatat penerimaan dan pengeluaran, keadaan akan lebih berkembang ketimbang sekarang. Mungkin.
Terkait pajak, peraturan perpajakan mengamanatkan, wajib pajak orang pribadi yang melakukan usaha agar menyelenggarakan pembukuan. Untuk tujuan dimaksud, undang-undang memberikan jangka waktu tertentu kepada UMKM belajar pembukuan/laporan keuangan (Peraturan Pemerintah nomor 23 Tahun 2018).
Uda tersenyum tipis mendengar ujaran di atas. Ia percaya diri mengelola usaha tanpa catatan keuangan. Ia tidak mengenal pembukuan pun laporan keuangan.
Uda tidak sendirian. Menurut sebuah jurnal, sampai tahun 2020 sebagian besar pelaku UMKM belum memahami pembukuan dan enggan mempelajarinya. Lebih menekankan perhatian kepada upaya meningkatkan penjualan dan meluaskan wilayah pemasaran.
Bagi mereka, belajar pembukuan dan menyusun laporan keuangan merupakan satu hal sangat sulit yang memboroskan waktu.