Agar menguntungkan kemudian berkembang, toko sembako baiknya menyelenggarakan pembukuan. UMKM ini tidak! Dan menguntungkan.
Mengelola toko sembako secara profesional meliputi: menata tampilan, mendapatkan pemasok barang, melakukan promosi, hingga mengelola keuangan dengan rapi.
Ada pembukuan. Mencatat arus penerimaan dan pengeluaran secara periodik. Cash flow dibuat demi membaca kelebihan atau kekurangan uang kas pada selang waktu tertentu.
Apabila saldo surplus berkelanjutan, maka bisnis berpotensi mendatangkan laba. Berkembang. Sebaliknya, kas minus terus menerus akan mengantarkan kepada kebangkrutan.
Manajemen keuangan bisa lebih sophisticated, sesuai kebutuhan yang disertai penguasaan dalam ilmu finansial dan akuntansi.
Dengan kata lain, pencatatan arus kas, pembukuan, laporan keuangan terperinci bisa menjadi kunci keberhasilan satu toko sembako.
Tidak demikian dengan gerai berjarak 200 meter dari rumah.
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) itu menjual sembako, barang kebutuhan sehari-hari, rokok, hingga mainan. Sebagian besar barang dagangan dibeli dari grosir di pasar.
Sebagian lagi merupakan barang konsinyasi, seperti kerupuk dan berbagai penganan dalam stoples atau kemasan kecil. Sistem titip jual memberikan toko satu bagian dari lima barang terjual. Sisa tidak laku di-retur (dikembalikan/ditukar barang baru).
Ternyata pemilik toko tidak menyelenggarakan pencatatan keuangan. Mulai diketahui saat pria itu sedang membaca struk belanja barang.
"Tidak dicatat?"
"Diingat-ingat saja."
"Kok bisa?"
"Pengalaman."
Tiga belas tahun lalu pria berputra dua itu mengurus toko kelontong. Lebih, jika dihitung dari saat berjualan di pasar.
Begini ceritanya.
Tahun-tahun awal datang dari Sumatera Barat, ia menyewa lapak di luar area bangunan Pasar Anyar Kota Bogor. Duduk di bawah payung menjual aneka bumbu dapur (merica, ketumbar, bawang putih, kemiri) dalam plastik kecil.
Dalam perkembangan selanjutnya, pria dipanggil Uda itu mengontak rumah di gang sebuah perkampungan. Untuk tempat tinggal keluarga sekaligus usaha toko kelontong. Ketika masih tersisa enam bulan sewa, pindah lagi ke tempat lebih luas dan strategis, yakni di pinggir jalan selebar empat meteran.
Harga sewa warung sekaligus tempat tinggal itu adalah tujuh juta rupiah per tahun. Waktu itu. Dibayar sekaligus untuk dua tahun. Sekarang tempat dengan harga sewa dua puluh juta setahun sepenuhnya digunakan untuk toko sembako.
Sebagai tempat tinggal, Uda membeli rumah yang pernah disewanya. Membelinya tahun berapa? Tidak terinformasi. Tepatnya: lupa nanya!
Kira-kira selama 13 tahun lebih Uda tidak mencatat secara khusus transaksi yang terjadi di tokonya. Tidak ada cash flow pun laporan keuangan. Tidak ada pembukuan.
Pemilik toko sembako itu mencatat pengeluaran dan pemasukan di dalam ingatan. Ia mengetahui fluktuasi harga barang dari membaca bon belanja grosir.
Grosir atau toko distribusi memberikan potongan harga berkat pembelian kodian. Memberikan ruang bagi penjual eceran untuk mengambil laba.
Maka dari itu, harga sembako atau barang kebutuhan sehari-hari di toko milik Uda sama dengan harga di pasar. Sebagian lainnya punya harga beti --beda-beda tipis.
Dari keuntungan itu pula Uda menghidupi keluarga dan menyekolahkan anaknya.
Mungkin juga Uda memiliki naluri berdagang turun-temurun. Bisa jadi jiwa entrepreneur terbentuk oleh pengalaman membuka toko sembako tanpa pembukuan.
Barangkali jika rapi mencatat penerimaan dan pengeluaran, keadaan akan lebih berkembang ketimbang sekarang. Mungkin.
Terkait pajak, peraturan perpajakan mengamanatkan, wajib pajak orang pribadi yang melakukan usaha agar menyelenggarakan pembukuan. Untuk tujuan dimaksud, undang-undang memberikan jangka waktu tertentu kepada UMKM belajar pembukuan/laporan keuangan (Peraturan Pemerintah nomor 23 Tahun 2018).
Uda tersenyum tipis mendengar ujaran di atas. Ia percaya diri mengelola usaha tanpa catatan keuangan. Ia tidak mengenal pembukuan pun laporan keuangan.
Uda tidak sendirian. Menurut sebuah jurnal, sampai tahun 2020 sebagian besar pelaku UMKM belum memahami pembukuan dan enggan mempelajarinya. Lebih menekankan perhatian kepada upaya meningkatkan penjualan dan meluaskan wilayah pemasaran.
Bagi mereka, belajar pembukuan dan menyusun laporan keuangan merupakan satu hal sangat sulit yang memboroskan waktu.
Tanpa pencatatan rapi pun Uda merasakan keuntungan dari kegiatan usahanya. Uda hanya mengerti bahwa dalam berdagang agar menjunjung tinggi sifat jujur.
Praktik yang telah dilakukan Uda selama berdagang lebih dari 13 tahun adalah:
- Menjual barang dengan timbangan sesuai.
- Menjaga harga barang kurang lebih sama dengan harga di pasar.
- Tidak melebih-lebihkan harga melampaui kewajaran.
- Memberikan barang kepada konsumen dengan kualitas sebagaimana disampaikannya.
- Bersedekah dan bersyukur atas rezeki diterima.
Dengan itu Uda merasa tercukupi dan memperoleh manfaat dari toko sembako dikelolanya, tanpa dipusingkan dengan bilangan-bilangan yang berbelit-belit di pembukuan.
Ia cukup membaca dan mengingat-ingat angka di bon belanjaan grosir untuk menentukan harga eceran. Juga demi menyiasati fluktuasi harga. Tidak pakai njlimet.
Ada yang mau mengajarkan pembukuan kepada Uda dan kawan-kawan?
Rujukan: Jurnal BPPK (Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan RI), "Tinjauan Manfaat Penetapan Jangka Waktu Tertentu Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H