Ternyata pemilik toko tidak menyelenggarakan pencatatan keuangan. Mulai diketahui saat pria itu sedang membaca struk belanja barang.
"Tidak dicatat?"
"Diingat-ingat saja."
"Kok bisa?"
"Pengalaman."
Tiga belas tahun lalu pria berputra dua itu mengurus toko kelontong. Lebih, jika dihitung dari saat berjualan di pasar.
Begini ceritanya.
Tahun-tahun awal datang dari Sumatera Barat, ia menyewa lapak di luar area bangunan Pasar Anyar Kota Bogor. Duduk di bawah payung menjual aneka bumbu dapur (merica, ketumbar, bawang putih, kemiri) dalam plastik kecil.
Dalam perkembangan selanjutnya, pria dipanggil Uda itu mengontak rumah di gang sebuah perkampungan. Untuk tempat tinggal keluarga sekaligus usaha toko kelontong. Ketika masih tersisa enam bulan sewa, pindah lagi ke tempat lebih luas dan strategis, yakni di pinggir jalan selebar empat meteran.
Harga sewa warung sekaligus tempat tinggal itu adalah tujuh juta rupiah per tahun. Waktu itu. Dibayar sekaligus untuk dua tahun. Sekarang tempat dengan harga sewa dua puluh juta setahun sepenuhnya digunakan untuk toko sembako.
Sebagai tempat tinggal, Uda membeli rumah yang pernah disewanya. Membelinya tahun berapa? Tidak terinformasi. Tepatnya: lupa nanya!