Sekali ini sore tampak ganjil, dengan horizon merah membanjiri kolam. Permukaannya memantulkan nuansa langit sewarna darah. Mengerikan.
Pertentangan batin dengan pikiran terjadi menjelang senja takluk kepada malam.
Seusai merawat taman rumah dengan halaman luas, majikan memanggil agar aku menghadap ke tempat duduk di tepi kolam ikan.
Demi mempertahankan hidup, memang aku bekerja kepada seorang yang sangat kaya. Apakah hartanya diperoleh dari hasil korupsi, komisi membekingi kelompok mafia, atau hasil usaha sah, aku tidak mengetahui persis.
Terpenting aku memperoleh pekerjaan sebagai penjaga vila mewah dengan gaji cukup. Titik.
"Kamu matikan mereka. Bunuh menggunakan gagang kayu keras dengan tenaga kuat. Malam ini keluargaku hendak berpesta."
"Tapi ...."
"Tidak ada tapi-tapian. Kerjakan cepat. Sekarang!"
Tiada alasan untuk menolak perintah atasan atau juragan atau majikan (mana saja boleh engkau sebut). Menimbulkan pertentangan batin. Gejolak yang menghasilkan kegaduhan antara pikiran dengan nurani.
Pikiran menyanggupi perintah atasan demi melanggengkan pekerjaan, yang telah diperoleh dengan susah payah. Malahan bisa menambah nilai positif untuk memperoleh kredibilitas lebih tinggi dari atasan.
Namun demikian, di sisi paling dalam dari jiwaku mengingatkan tentang satu hal yang tidak pernah kulakukan seumur hidup. Daripada mengikis kaidah melekat pada nurani, lebih baik menerima amarah dari majikan. Kemungkinan terburuk adalah dipecat. Begitu bisik nurani.