Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perintah Atasan

16 Agustus 2022   20:57 Diperbarui: 16 Agustus 2022   21:07 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Republica dari pixabay.com

Sore berkabut yang ganjil. Nurani meronta-ronta. Pikiran ruwet terpicu perintah atasan untuk melaksanakan pembunuhan.

Pukulan keras pada ubun-ubun menyebabkan ia menggelepar-gelepar menahan sukma agar tidak pergi. Aku tercekat, menyebabkan --kali ini terlibat langsung--- nyawa melayang. Menegangkan.

Sempat hendak mundur saja, tetapi ada banyak desakan berkecamuk di dalam batok kepala. Keadaan paling menggetarkan sehingga membuat akal jernih tidak mampu menahan ayunan tangan, adalah seseorang berkumis yang berkacak pinggang memberikan aba-aba dengan terburu-buru.

"Woy, woy, woy .... Cepat bikin mati. Pukul semua! Lamban amat sih?"

***

Aku dilahirkan dan dibesarkan di keluarga baik-baik di sebuah pedesaan asri. Lingkungan pertumbuhan di mana tidak pernah ada kata-kata kasar, bentakan, maupun pukulan.

Semua berlangsung dengan sentosa tanpa perbuatan-perbuatan saling menyakiti di antara anggota keluarga. Bahkan terhadap makhluk yang ada di sekitar. Anasir bernyawa maupun benda mati.

Di halaman rumah yang lumayan panjang dengan cukup lebar, pada satu sisi dibangun kolam untuk menanam ikan mas dan lele. Dibuat terpisah, bila tidak demikian mereka akan saling bertengkar. Satu hal yang tidak dikenal di keluarga kami.

Di bagian atas dari kolam lele dirakit kandang terbuat dari bilah bambu untuk menampung ayam dengan pintu keluar bersinggungan dengan tanah. Maka lantai bilah bambu memuluskan kotoran ayam meluncur ke air dan langsung menjadi santapan ikan lele.

Dengan demikian uap kotoran ayam tenggelam ke dalam kolam, tiada kesempatan untuk menguarkan aroma tak sedap.

Bagian tersisa dari halaman diisi dengan tanaman yang diambil umbinya untuk mengisi dapur. Juga tumbuhan singkong untuk diambil pucuk daunnya dan hijauan lain untuk sayur: kangkung, bayam, dan semacamnya.

Pepohonan Cuma sedikit. Rambutan, sawo, mangga, dan pohon peneduh lainnya.

Tentu saja ada jalan setapak. Dari depan pintu rumah menuju jalan. Di antara tanaman menuju kandang.

Tidak ada pagar berdiri kaku, hanya ada tanaman beluntas luwes berjejer sebagai penanda batas.

Hasil dipetik dari tanaman dan pohon merupakan makanan konsumsi rumah tangga. Juga dibagikan kepada tetangga, apabila berlebih. Pada dasarnya, siapa saja boleh mengambil, asalkan meminta izin terlebih dahulu.

Tidak sedikit orang menganggap janggal, meskipun bagi kami tidak.

Hewan dan ikan peliharaan yang sudah cukup usia tidak bakal kami jadikan sebagai sajian lezat di atas meja makan. Semua dijual ke pasar, ditukar dengan uang atau bahan kebutuhan pokok.

Tidak. Tepatnya: tiada pernah kami memotong leher ayam ataupun memukul kepala ikan mas maupun lele. Kemudian memasaknya dan menjadikan unggas sebagai opor. Atau mengubah ikan hidup serupa masakan arsik atau lele goreng sambal mangga muda.

Tidak ada sejarahnya. Kami sedikit pun tidak bakalan tega. Menyembelih unggas lucu yang senantiasa ingin dielus-elus. Membunuh ikan-ikan yang gembira ketika aku melempar pakan.

Pelajaran, kebiasaan, dan kelaziman yang diperoleh sejak kecil aku serap secara sempurna. Membunuh makhluk bernyawa merupakan peristiwa yang aku hindari. Apalagi membunuh makhluk hidup lebih besar. Bahkan aku tidak akan tega melihat domba dan sapi disembelih pada hari kurban.

Bukan berarti vegetarian. Tidak memakan olahan berasal dari makhluk hidup. Aku tetap lahap menyantap daging rendang, ayam penyet, atau pepes ikan. Asalkan bukan peliharaan sendiri. Dan kalaupun bukan, aku tidak melihat proses membunuhnya. Itu saja.

Sekali ini sore tampak ganjil, dengan horizon merah membanjiri kolam. Permukaannya memantulkan nuansa langit sewarna darah. Mengerikan.

Pertentangan batin dengan pikiran terjadi menjelang senja takluk kepada malam.

Seusai merawat taman rumah dengan halaman luas, majikan memanggil agar aku menghadap ke tempat duduk di tepi kolam ikan.

Demi mempertahankan hidup, memang aku bekerja kepada seorang yang sangat kaya. Apakah hartanya diperoleh dari hasil korupsi, komisi membekingi kelompok mafia, atau hasil usaha sah, aku tidak mengetahui persis.

Terpenting aku memperoleh pekerjaan sebagai penjaga vila mewah dengan gaji cukup. Titik.

"Kamu matikan mereka. Bunuh menggunakan gagang kayu keras dengan tenaga kuat. Malam ini keluargaku hendak berpesta."

"Tapi ...."

"Tidak ada tapi-tapian. Kerjakan cepat. Sekarang!"

Tiada alasan untuk menolak perintah atasan atau juragan atau majikan (mana saja boleh engkau sebut). Menimbulkan pertentangan batin. Gejolak yang menghasilkan kegaduhan antara pikiran dengan nurani.

Pikiran menyanggupi perintah atasan demi melanggengkan pekerjaan, yang telah diperoleh dengan susah payah. Malahan bisa menambah nilai positif untuk memperoleh kredibilitas lebih tinggi dari atasan.

Namun demikian, di sisi paling dalam dari jiwaku mengingatkan tentang satu hal yang tidak pernah kulakukan seumur hidup. Daripada mengikis kaidah melekat pada nurani, lebih baik menerima amarah dari majikan. Kemungkinan terburuk adalah dipecat. Begitu bisik nurani.

Pikiran mengalahkan batin. Dengan sedikit menutup mata menahan air menggenang, aku menarik napas. Mengayunkan sekuat tenaga gagang kayu keras ke kepala abu-abu kehitaman. Aku menahan badannya yang bergerak ke kiri dan ke kanan agar tidak berontak. Matanya menatap sayu.

"Praaak ....!"

Menggelepar-gelepar. Melemah. Dan semakin lemah. Kemudian diam tak bergerak.

Di sudut mata air menitik. Aku terhempas tidak tahu harus berbuat apa.

"Woy, woy, woy .... Cepat bikin mati. Pukul semua! Lamban amat sih?"

Tuan rumah beranjak, mendekati anak lelakinya yang kesulitan menghidupkan bara api. Istrinya sedang memotong cabai, bawang, dan terasi.

Aku pasrah. Enam atau tujuh lagi yang harus dimatikan dan dibersihkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun