Bagian tersisa dari halaman diisi dengan tanaman yang diambil umbinya untuk mengisi dapur. Juga tumbuhan singkong untuk diambil pucuk daunnya dan hijauan lain untuk sayur: kangkung, bayam, dan semacamnya.
Pepohonan Cuma sedikit. Rambutan, sawo, mangga, dan pohon peneduh lainnya.
Tentu saja ada jalan setapak. Dari depan pintu rumah menuju jalan. Di antara tanaman menuju kandang.
Tidak ada pagar berdiri kaku, hanya ada tanaman beluntas luwes berjejer sebagai penanda batas.
Hasil dipetik dari tanaman dan pohon merupakan makanan konsumsi rumah tangga. Juga dibagikan kepada tetangga, apabila berlebih. Pada dasarnya, siapa saja boleh mengambil, asalkan meminta izin terlebih dahulu.
Tidak sedikit orang menganggap janggal, meskipun bagi kami tidak.
Hewan dan ikan peliharaan yang sudah cukup usia tidak bakal kami jadikan sebagai sajian lezat di atas meja makan. Semua dijual ke pasar, ditukar dengan uang atau bahan kebutuhan pokok.
Tidak. Tepatnya: tiada pernah kami memotong leher ayam ataupun memukul kepala ikan mas maupun lele. Kemudian memasaknya dan menjadikan unggas sebagai opor. Atau mengubah ikan hidup serupa masakan arsik atau lele goreng sambal mangga muda.
Tidak ada sejarahnya. Kami sedikit pun tidak bakalan tega. Menyembelih unggas lucu yang senantiasa ingin dielus-elus. Membunuh ikan-ikan yang gembira ketika aku melempar pakan.
Pelajaran, kebiasaan, dan kelaziman yang diperoleh sejak kecil aku serap secara sempurna. Membunuh makhluk bernyawa merupakan peristiwa yang aku hindari. Apalagi membunuh makhluk hidup lebih besar. Bahkan aku tidak akan tega melihat domba dan sapi disembelih pada hari kurban.
Bukan berarti vegetarian. Tidak memakan olahan berasal dari makhluk hidup. Aku tetap lahap menyantap daging rendang, ayam penyet, atau pepes ikan. Asalkan bukan peliharaan sendiri. Dan kalaupun bukan, aku tidak melihat proses membunuhnya. Itu saja.