Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tumbal Pesugihan

27 Mei 2022   06:05 Diperbarui: 27 Mei 2022   06:09 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan sekali-kali memintas hutan larangan. Bisa bernasib sial! Kecuali kalian mampu memberikan sajian kepada penunggu. Tumbal pesugihan!

Napas tersekat. Bola mata melekat. Huruf-huruf pada panel tertinggi sebuah gedung mentereng mengingatkan kepada perselisihan dengan sahabat karibnya.

Sekitar dua puluh tahun lalu cerita bermula dari sebuah persimpangan jalan pemicu pertengkaran.

"Jangan lewat situ!"

"Ini lebih singkat!"

"Ingat! Pak Tua mewanti-wanti agar tidak menerobos hutan larangan."

"Aku ingin lekas tiba."

"Terserah kau lah..."

Memutuskan perselisihan dengan cara berbeda. Bagaskoro meneruskan perjalanan sesuai arahan. Dhananjaya menembus celah di antara belukar yang merupakan satu pilihan jalan menuju pesugihan. Memintas hutan larangan.

Tujuan mereka sama: mencari pesugihan di bawah pohon Dewandaru.

Kedua orang bersahabat itu demikian habis ikhtiar dalam upaya uang secara ajek, juga dalam jumlah patut, baik dengan cara bekerja maupun berusaha.

Selepas SMA mereka telah menghabiskan ratusan lembar: salinan ijazah yang telah dilegalisir, fotokopi KTP serta Surat Keterangan Kelakuan Baik, pasfoto empat kali enam atau empat kali tiga, dan berkas riwayat hidup. Juga perangko dan amplop cokelat.

Terlalu mahal bagi mereka berdua dengan kondisi keuangan orang tua yang kembang kempis. Terlalu percuma waktu terbuang demi menunggu balasan yang tak kunjung tiba.

Di sela-sela waktu tunggu, dua pemuda mencoba mencari penghasilan dengan berusaha. Menjual es limun, berakhir. Berdagang kopi seduh, sudah. Menanam kangkung tak tumbuh. Beternak ikan atau ayam, tak bermodal. Menjadi tukang parkir, baru tiga hari dipalak preman.

Terbang sudah semangat mereka.

Ketika hendak mengibarkan bendera putih, seorang pria --yang wajahnya tertutup bayangan topi lebar dari anyaman bambu---mengetuk-ngetuk lantai dengan tongkat rotan.

"Huss sana pergi, Pak Tua!"

Pak Tua bergeming, lalu berujar, "pergilah ke timur agar tahu cara menjadi kaya?"

Bagaskoro dan Dhananjaya saling berpandangan. Tanpa melepaskan capingnya, Pak Tua menarik kursi.

"Minta minum!"

Tergopoh-gopoh Bagaskoro mengambil gelas lantas mengisinya dengan teh tawar hangat dari teko aluminium.

Selanjutnya Pak Tua berkisah tentang sebuah makam keramat yang dipayungi pohon Dewandaru. Barang siapa yang ber-hening dengan khusyuk selama tiga hari tiga malam di bawah pohon berkah itu, kemudian kejatuhan ranting atau buahnya, maka akan dimudahkan jalan menuju kekayaan.

"Jangan mengguncangnya dengan sengaja! Ranting atau buah Dewandaru harus jatuh dengan alamiah."

Bagaskoro dan Dhananjaya memandang Pak Tua dengan takjub, "benarkah ini semua?"

"Juga jangan sekali-kali memintas hutan larangan. Bisa bernasib sial. Kecuali...."

Dua sahabat itu menahan keingintahuan yang ganjil pada paras mereka.

Pak Tua memandang tajam wajah kedua anak muda, berharap ada kesungguhan hati.

"Kalian, atau satu dari kalian mampu memberikan sajian kepada penunggu gaib."

"...???!?"

"Ya, tumbal pesugihan..."

Pagi Senin Pahing dua sahabat berangkat. Membawa bekal seadanya. Berupa potongan kelapa dan gula merah sebagai sumber tenaga penahan lapar.

Berjalan kaki menyusuri lintasan setapak, jalur menanjak, dan semak belukar, sampai tiba di sebuah persimpangan jalan.

Belok kanan adalah jalan singkat menuju pesugihan melalui hutan larangan. Lurus merupakan jalur biasa, memutar dengan jarak lebih panjang.

Tubuh lelah. Perbekalan sudah habis. Keinginan segera tiba menguat. Emosi meningkat. Di situlah pertengkaran dan perpisahan terjadi. Sampai kini.

***

Setelah pandangannya menjelajahi tampak luar bangunan, pria itu membenamkan caping lusuh demi menutupi wajahnya. Dengan hati compang-camping, menggotong karung rapuh berisi kemasan air mineral kosong.

Kemudian kembali menarik langkah terseok-seok menjauhi gedung megah dan mewah itu.

Tulisan "Dhananjaya Building" tertawa terbahak-bahak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun