Alamak! Harganya maut. Rata-rata seporsi berharga lebih dari dua kali lipat dari mi ayam umumnya. Setengah porsi saja masih lebih mahal daripada mi ayam gerobak.
Baiklah. Saya paham, hidangan berbahan dasar ayam kampung memang cenderung berharga tinggi. Maka saya memesan setengah porsi mi ayam kampung.
Pak Iyus, penjual, mengaku bahwa gerai penjualan mi ayam kampung baru beroperasi sebulan terakhir. Sebelumnya pria tersebut menjalankan usaha kuliner di kantin beberapa sekolah. Namun bencana pandemi berkepanjangan telah memorak-porandakan usahanya.
Tidak meleset dugaan. Ternyata penjual itu berpengalaman menjalankan bisnis kuliner.
Olahan ayam, bumbu, dan sambal khas merupakan racikan dari istrinya. Sedangkan bahan mi dipasok dari tempat lain. Ketika dicemplungkan ke kuali, tampak kualitas mi cukup bagus. Warnanya tidak terlalu kuning dan berdiameter kecil. Mutu mi akan menentukan rasa keseluruhan mi ayam disajikan.Â
Kita buktikan saat disantap nanti.
Hidangan terdiri dari dua mangkuk ukuran biasa. Satu berisi kaldu bening, sedikit potongan daging ayam, daun sawi (caisim), dan irisan daun bawang. Satu mangkuk lain memuat mi rebus, potongan ayam kampung dipotong memanjang selebar jari tangan, sawi, daun bawang.
Terpisah, disajikan dua macam sambal. Yang pertama adalah sambal rawit, menyesuaikan dengan lidah orang Bogor. Kedua, sambal bawang dan cabai yang digerus amat halus merupakan sambal khas ala Bandung. Berwarna merah gelap.
Mari kita, eh, saya cicipi.
Tanpa menggunakan kondimen lain (kecap, saus, cuka), terlebih dahulu saya menyeruput kuah. Ringan, tidak terlalu berminyak, dan menyegarkan.