Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akhirnya Rudolfo Berhenti Merokok Kretek

12 Oktober 2021   05:59 Diperbarui: 12 Oktober 2021   06:01 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Sammy-Williams dari pixabay.com

Kegemaran Rudolfo terhadap rokok kretek amat kuat. Tidak tergoyahkan oleh pendapat siapa saja, atau peringatan apa saja. Berbagai saran cara berhenti merokok, tidak mempan.

Kerabat, sahabat, dokter, psikiater, psikolog tidak mampu melepaskannya dari ketergantungan. Ancaman rokok sebagai penyebab paru-paru gosong, juga kenyataan bahwa merokok kretek dapat membuat celana bolong-bolong terpercik api, tidak mampu menggeser setitik pun keyakinan Rudolfo.

Selayak kereta api uap, rokok kretek menyala senantiasa nyelip di antara dua lembar bibir. Asap putih berembus-embus menembus angan-angan.

Bahkan saat tertidur, jari jemarinya menjepit sebatang rokok. Tentunya tidak berapi. Tembakau bergulung itu membakar mimpi-mimpinya.

Bukan tidak mengenal informasi mengenai bahayanya. Atau efek negatif dari nikotin terkandung di dalam tembakau, yang dituduh sebagai penyebab kecanduan. Rudolfo terlalu pintar untuk tidak mengetahuinya. Ia sangat mengerti bahwa nikotin memicu radang paru-paru, jantung, kanker, sampai kematian.

Alkisah nikotin mengaktifkan saraf untuk menghasilkan dopamin, sintesis kimia pengusung rasa gembira, senang, motivasi, dan percaya diri. Sebuah efek ketagihan yang dirindukan oleh pecinta rokok.

Pada silinder kertas berisi campuran tembakau, saus, dan cengkih itulah Rudolfo menemukan kebahagiaan. Suara ‘kretek-kretek” pembawa keteguhan hati berbalut optimisme menghadapi ruwetnya hidup.

Ekstasi yang tidak ditemukannya pada rokok putih.

***

“Isinya bukan tembakau asli! Tidak ada aroma rempah pemikat yang dulu mampu mengundang dunia datang ke Nusantara. Malahan, sekarang dunia membawa rajangan kertas serasa tembakau. Bahan kimia tanpa saus. Hilang pula suara kretek-kretek nan merangsang.”

Begitu kata Rudolfo, suatu malam yang suram, ketika sejumlah gadis cantik menawarkan rokok putih di sebuah kafe. Gadis-gadis berkostum putih bergaris merah sedang melakukan branding. Suatu kegiatan komunikasi dalam rangka mengenalkan, membangun, dan membesarkan merek.

Bukan sekadar menawarkan produk rokok kepada, misalnya kerumunan pengunjung kafe, tetapi menukar satu bungkus rokok calon konsumen, berapa pun isinya, dengan satu bungkus rokok putih tersegel.

Cara lain, membujuk pengunjung agar mengisap satu batang saja. Kemudian menyodorkan satu atau dua bungkus rokok untuk dibeli dengan harga lebih murah daripada membeli di toko, ditambah bonus sebuah korek api gas berlogo produsen rokok putih itu.

Dengan mencoba, hanya mencoba satu batang, dijamin para penggemar rokok kretek akan beralih mencintai rokok putih.

Juga, laki-laki mana sih yang tidak runtuh hatinya menghadapi rayuan gadis-gadis cantik?

Tidak demikian halnya dengan Rudolfo. Ia kukuh, teguh pada pendirian demi tidak berpindah ke rokok putih. Enggan menerima tawaran sebungkus utuh rokok putih demi menukar rokok kretek. Tidak akan.

Namun, demi tuntutan tugas, para gadis dengan segala cara, entah sengaja atau tidak, merayu Rudolfo sambil menempel-nempelkan bagian tubuh lembut nan kenyal.

“Sudah berkali-kali aku bilang tidak! Tidak ada kata suka dengan rokok putih sampai kapan pun. Dengan cara apa pun. Sekarang, kalian menyingkir lah! Rayu orang lain,” suara Rudolfo meninggi.

Sontak Tamu-tamu menoleh, mengamati pertengkaran kecil itu. Gadis-gadis berbusana seksi terperanjat, lalu menjauh, mengalihkan penawaran produk kepada pengunjung lain.

Seorang gadis tertinggal, memohon dengan muka memelas, “boleh duduk di sini?”

Bar stool terlalu tinggi untuknya. Refleks, Rudolfo menopang tangan lembut, hingga gadis berwajah eksotis duduk sempurna.

Rudolfo terkesiap, sekilas ekor matanya melihat rok terlalu pendek tersingkap. Putih! Segera ia berpaling, menatap kesenduan di hadapan.

Crying faceSeorang gadis berwajah pilu.

Pria penikmat rokok kretek itu selalu terobsesi dengan gadis dengan tipe wajah pilu. Rasanya ia ingin melindungi setiap gadis berwajah pilu dijumpainya dengan sepenuh hati.

“Sepertinya ada yang membuatmu sedih?” suara Rudolfo kering.

“Bagaimana?” Gadis berwajah pilu berusaha menegaskan.

“Wajahmu tampak sedih. Ada hal yang mengganggu pikiran.

Hmmmmm, soal biasa. Pekerjaan.”

“Melelahkan ya?”

“Bukan itu saja. Malam ini rokok putih yang aku bawa harus habis . Masih ada empat slop)*,”sang gadis berwajah pilu menghela napas.

Tiba-tiba Rudolfo merasa iba, “baiklah. Berapa harganya, jika dibayar. Aku ambil semua”

Sang gadis berwajah pilu mendekatkan wajahnya, menatap lekat. Rudolfo tiba-tiba merasa seluruh tulang-belulangnya lepas. Pancaran mata itu ....

Rudolfo menyembunyikan ketakjubannya, “Erghhh. Aku sungguh-sungguh. Sekarang, mau minum apa?”

“Illusion, please! Terima kasih,” gadis berwajah pilu menyeru kepada bartender, menghembuskan asap rokok, mengangsurkan bungkus rokok kepada Rudolfo.

Sejenak Rudolfo terperanjat, mengambil sebatang rokok putih. Berujar kepada bartender, “masukkan ke bill saya.”

Ouw, terima kasih,” sang gadis melemparkan senyum manis.

Dua insan terlibat dalam pembicaraan menyenangkan. Sesekali tergelak dalam kepulan asap rokok putih. Hati Rudolfo berbunga-bunga. Hati gadis berwajah pilu berbunga-bunga.

Mereka mengangkat gelas kaca dan saling membenturkannya, “ting....”

Entah sudah berapa sloki berisi cairan biru tembus pandang mereka teguk. Entah sudah berapa batang rokok putih telah mereka isap. Dua sejoli bercakap dengan akrab.

Satu kali Rudolfo berbisik di telinga sang gadis, mencuri kesempatan menghirup aroma membangkitkan.

“Maukah engkau malam ini aku ajak pergi?”

Bibir gadis berwajah pilu menempel di telinga Rudolfo, mengeluarkan suara lirih, “jemput aku sepulang dari kantor.”

Leher jenjang sang gadis dirangkul, “ke mana kita?”

“Terserah, my dear.”

Kegembiraan bertimbun-timbun. Dada Rudolfo sesak oleh kebahagiaan.

Tak lama, temannya menghampiri, berkata bahwa sudah waktunya kembali ke kantor. Sedikit limbung, sang gadis turun dari kursi tinggi.

Sigap Rudolfo mencekal erat lengan sang gadis sambil berbisik, “siapa namamu?”

Gadis berwajah pilu menatap mata Rudolfo, tersenyum manis. Sangat manis.

“Vinny.”

Rudolfo menggosok kedua tangannya. Maka dengan demikian, sejak pertemuan malam itu pula, ia berhenti merokok. Berhenti merokok kretek, beralih kepada rokok putih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun