Seketika udara panas menghempas masuk ke dalam kabin, saat pintu dibuka penjaga. Dari jok belakang berlapis kulit sapi asli, seorang wanita anggun menggeser pinggulnya, lalu keluar.
Sebagian kain tidak berhasil menutup kaki mulus, membuat sekalian mata buaya menatap nanar. Mata berbulu lentik melotot, memancarkan api sekaligus pelangi. Maka belasan mata buaya pun meredup.
Wanita itu ditunggu di gedung di mana terdapat banyak pilar beton penyangga tiga lantai atas. Para pengawal mengiringi wanita bergaun putih tipis menuju ruang persidangan. Jiwa pria di belakang menghormati, sekaligus melahap pemilik tubuh molek itu.
Wanita molek bergaun putih tipis mendaratkan pantat di kursi kulit buatan Italia. Barang termewah di gedung megah. Ia adalah kedudukan paling tinggi di antara kursi para hakim, jaksa penuntut umum, pembela, apalagi pengunjung.
Wanita itu menyilangkan kaki kiri di atas kaki kanan. Serempak secara bersama-sama semua lelaki mencelatkan mata kepada satu tujuan. Pengunjung berdengung bagai lebah.
Ketua Hakim mengetukkan palu, "Ehem..., ehem..., harap tenang saudara-saudara sekalian. Sidang segera dimulai."
Sekejap dengungan melemah lalu senyap.
"Tuntutan jaksa penuntut umum agar dibacakan."
Lelaki-lelaki bertoga membaca tuntutan setebal bantal secara bergantian, yang pada pokok kesimpulannya menuntut agar terdakwa dihukum penjara 7 tahun.
Usai pembacaan, sontak pembela berdiri, "Yang Mulia Hakim Ketua, tuntutan itu mencederai keadilan. Masak mencuri ayam saja dihukum 7 tahun. Kami menyampaikan keberatan."
"Baiklah, dipertimbangkan. Saudara terdakwa, apakah benar Anda mencuri ayam? Berapa banyak?"
Terdakwa berbaju putih bercelana hitam menunduk, "Betul Pak Hakim. Kami mencuri 72 ayam kampung."
"Apakah saudara terdakwa melakukannya sendirian?"
"Tidak Yang Mulia. Berdua."
"Teman saudara terdakwa di mana"
"Yang Mulia, ia sudah tewas dikromas."
"Hah? Masak dikeramas aja bisa mati, bagaimana sih ente?"
"Dikromas, Yang Mulia, alias dikeroyok massa pemarah. Pentungan, batu kali sebesar kepala, dan puluhan bogem mentah menghajarnya, sehingga kawan saya babak belur melepaskan nyawanya. Untung saya keburu diselamatkan oleh bapak polisi."
"Memang berapa harga ayam seekornya," Hakim Ketua menoleh kepada seorang Hakim Anggota.
"Siap Yang Mulia. Di samping kantor Kodim seekor ayam dijual seharga Rp 125 ribu."
"Mahal sekali!"
"Siap Yang Mulia. Itu sudah termasuk lalapan dan sambal yang pedasnya ajib. Menimbang mahalnya harga cabai rawit jablay pada saat sekarang, maka harga itu sudah murah. Yang Mulia mau untuk makan siang? Saya bisa pesan secara online lho."
"Bukan begitu! Bukan matengnya, tapi yang masih hidup. Berapa harganya?"
"Oh maaf, Yang Mulia. Di pasaran harga ayam hidup berkisar 40-45 ribu."
"Nah, katakanlah harganya empat puluh ribu, dikalikan 72 ekor, maka kerugian peternak itu hampir 3 juta. Itu nilai sekarang. Bila dihitung dengan nilai masa mendatang, berapa itu? Ditambah, apabila masing-masing ayam mengeluarkan 7 butir telur, di mana 5 di antaranya menetas menjadi anak ayam. Setelah dewasa menjadi ayam yang bertelur masing-masing 7, di mana 5 di antaranya menetas menjadi pitik. Dan seterusnya, dan seterusnya."
"Jadi?" Tim Pembela berkerut kening.
"Tuntutan jaksa penuntut umum dikabulkan. Bagaimana Bu Dewi?"
Wanita duduk di kursi kulit buatan Italia itu tersenyum, lalu mengangguk.
Dengan anggun ia melepaskan silangan kaki kiri di atas kaki kanan, lalu menaikkan kaki kanan ke atas kaki kiri. Serempak semua lelaki melekatkan mata kepada satu tujuan.Â
Sekali lagi, pengunjung bagai lebah, berdengung menyuarakan kagum.
Hakim Ketua mengetukkan palu bertalu-talu, "Harap tenang. Harap tenang, saudara-saudara. Demi mempersingkat waktu, maka saudara terdakwa divonis hukuman maksimum, yaitu penjara selama 7 tahun tanpa potong masa tahanan dengan alasan apa pun."
Hakim mengetukkan palu sebagai tanda bahwa tuntutan hukum sudah menjadi ketetapan mengikat.
"Next! Eh, berikutnya!"
Seorang pria tampan berbaju putih licin, ber-jas hitam, bercelana warna gelap, dan mengenakan pantofel berkilat-kilat memasuki ruang sidang, duduk di kursi pesakitan.
Hakim Ketua mengetuk palu, "Sidang dimulai, agar jaksa penuntut umum membacakan tuntutan."
"Yang Mulia, terdakwa telah menyelewengkan uang negara sebesar Rp 7 triliun, untuk itu dituntut hukuman sebanyak-banyaknya selama 10 tahun. Menimbang pengabdiannya selama ini yang mana beliau, eh, terdakwa telah banyak berjasa kepada negara. Itu yang pertama. Kedua, terdakwa telah menunjukkan itikad baik, dengan telah mengembalikan uang sebesar Rp 10 miliar kepada kas negara."
"Bagaimana tim Pembela?"
"Kami keberatan atas tuntutan tersebut, oleh karena itu kami mohon kepada Majelis Hakim agar terdakwa diampuni dan diberikan hukuman seringan-ringannya, mengingat perilaku kooperatif, santun, berjiwa penolong, dan sebagainya. Ia khilaf."
Ketua Hakim menoleh kepada wanita molek bergaun putih tipis, "Bagaimana Bu Dewi?"
Sejenak wanita itu terdiam dengan mata terpejam. Angin dingin dari pengatur suhu ruangan berkesiur membawa angan ke vila mewah di pulau terpencil di Lautan Teduh
Majelis Hakim, Para Penuntut Umum, Tim Pembela, dan sekalian pengunjung melekatkan perhatian kepada satu tujuan. Menahan nafas.
Sambil memindahkan silangan kaki, wanita itu mengeluarkan desis dari bibir tipis, "Hukum ia sepantas-pantasnya, pertimbangkan permintaan Pembela."
Untuk ketiga kalinya, dengungan lebah terdengar.
Tok ... Tok ... Tok!
"Harap tenang. Harap tenang! Yang Paling Dimuliakan telah memperdengarkan suaranya. Untuk itu saudara terdakwa divonis hukuman penjara selama 7 tahun dipotong masa tahanan dengan kesempatan remisi, apabila berkelakuan baik."
Tok ... Tok ... Tok!
Untuk ke-sekian kalinya, dengungan lebah terdengar, lalu mendadak senyap, semua lelaki menahan nafas, melekatkan pandangan kepada satu tujuan.
Wanita itu dengan indah meninggalkan kursi kulit buatan Italia. Kemudian para pengawal mengiringinya keluar dari ruang persidangan. Sekalian pengunjung berdiri --dalam arti sesungguhnya maupun kiasan-- dengan mata buaya melahap tubuh molek menjauh.
Wanita molek bergaun putih tipis berjalan anggun, sambil menenteng pedang tumpul karatan pada tangan kanannya, sementara tangan kirinya menjinjing timbangan yang timpang sebelah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H