Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Perempat Cangkir Kopi Cokelat

17 Maret 2021   17:51 Diperbarui: 17 Maret 2021   18:03 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga perempat cangkir kopi cokelat dibuat dengan takaran pas untuk merayakan ulang tahun yang ke-30

Panas terik udara luar. Tidak demikian halnya pada ruangan ber-AC, dengan hamparan permadani yang di atasnya terdapat ranjang mahoni berseprai putih. Dua pasang bantal dan guling terlentang pasrah.

Pada dinding depannya, di atas kredensa terletak sebuah pesawat televisi. Di ujung sebelah kiri terdapat kamar mandi dan pintu kayu kedap suara sebagai tempat keluar masuk.

Satu-satunya jendela ada di sebelah kanan, yang di bawahnya disusun dua buah kursi, yang mana di antaranya diletakkan sebuah meja tanpa taplak.

Di atas meja bulat berukuran kecil itulah terdapat sebuah cangkir, berisi tiga perempat kopi cokelat yang masih mengepul. Aromanya melayang ke seluruh ruang berdinding biru pastel.

Tiga perempat cangkir kopi cokelat dibuat dengan takaran pas untuk merayakan ulang tahun yang ke-30.

Khusus diracik oleh sang pria dengan cara, menuangkan air yang cukup panasnya ke dalam cangkir berisi bubuk kopi cokelat saset, sampai dengan tiga perempat bagian kurang sedikit. Larutan diaduk-aduk dengan penuh kelembutan, sebagaimana mengaduk hati wanita hingga luluh.

Sang wanita baru terjaga, lipstiknya luluh lantak, terhapus, barangkali tersapu kusutnya seprai. Bibir tipisnya memagut tanpa meninggalkan jejak pada bibir cangkir biru, menuntaskan rindu yang terkurung di dalam sebuah bahtera kehidupan.

Kopi cokelat yang cukup panasnya diseruput dengan penuh kenikmatan dan perasaan.

"Tidak semua orang mengerti cara menyeduh kopi cokelat yang pas. Kamu masih ingat seleraku?"

"Bagaimana aku bisa melupakannya? Kebiasaan, kesukaan, selera makanmu, dan semua tentangmu."

Tidak hanya meracik kopi cokelat, pria itu mahir memasak,  mulai dari masakan mudah, seperti mi instan rebus, sampai dengan olahan Italia yang maknyus.

Mengenai memasak mi ia memiliki gaya tersendiri, yaitu: mi kering di dalam bungkus plastik diremasnya dengan kedua tangan kekarnya, lantas dua buah cabai rawit digerus bersama bumbu di dasar mangkuk.

Kemudian, mi remuk dimasukkan ke dalam panci berisi air mendidih dan sebutir telur. Setelah telur matang sempurna dan mi tidak terlalu lunak, menyusul potongan daun selada, masuk ibarat dicelupkan saja.

Cara sederhana, namun elegan, sebagaimana tampilannya yang menawan, bergaya flamboyan, didukung oleh tampang tampan serupa Tora Sudiro.

Itulah yang membuat wanita bermata bintang, berambut pendek, dan bertubuh mungil itu tak kuasa menentang sihir pria flamboyan itu.

Ia terjerembap ke dalam sebuah pesona yang telah menyentuhnya, menghirup seluruh isi hatinya, lalu menghisap kemudaannya. Berkali-kali.

Wanita bermata bintang terlalu dimabuk cinta, sehingga angan melayang hanya kepada satu hal: keindahan!

Kabar baiknya, pria itu mau bertanggungjawab dengan tidak membiarkannya sendirian menanggung kekhilafan. 

Pria flamboyan bersedia mengikat sang wanita bermata bintang dalam sebuah bahtera kehidupan. Kebahagiaan menyelimuti kedua pasangan tersebut, sampai lahirnya buah keindahan cinta.

Pria tampan kembali kepada gayanya yang elegan, menawan, dan flamboyan. Membuatnya menarik perhatian wanita tetangga, gadis teman kantor, bartender wanita sebuah kafe di Kebayoran, dan entah berapa banyak wanita di jalanan.

Perbuatan lancung dikemas di belakang layar bahtera rumah tangga. Sebagian tidak ketahuan. Sebagian lagi tersingkap dengan berbagai cara.

Setiap kali terungkap, sang pria bersimpuh memasang muka memelas, sambil bersumpah tidak akan mengulanginya lagi.

Begitu kejadiannya berulang-ulang, membuat layar di dalam hati sang wanita bermata bintang menjadi rapuh lalu terkoyak, sehingga tibalah ia kepada puncak amarah.

"Sekali selingkuh, kamu akan melakukan selingkuh lagi!"

Bagaimanapun, layar telah compang-camping, menyebabkan biduk terombang-ambing di tengah badai kehidupan, lalu pecah menghantam karang. Kandas.

Para pelayar terhempas, merenungkan sesal dalam ruang hampa. Kemudian mereka masing-masing merakit biduk anyar dan menjahit layar baru.

Selama enam puluh purnama, kiranya mereka semakin dewasa, hendaknya, semakin bijaksana pula.

Kisah dimulai manakala pria flamboyan bersua wanita bermata bintang. Mereka mulai menenun hubungan terlanjur canggung. Kekakuan yang mencair dengan saling memaafkan tanpa menyalahkan.

Tidak berarti melupakan segala perbuatan pada masa silam. Tidak. Mereka hanya berusaha membenamkan ingatan dalam tumpukan kegembiraan.

Untuk merayakannya, mereka makan di restoran, ajaibnya, dengan menu sama seperti dulu. Mereka saling menumpahkan isi hati tentang segala hal yang berujung kepada kegembiraan bertumpuk-tumpuk.

Semuanya berakhir pada kesempatan di dalam kesempitan, di mana semua kerinduan dihabiskan dalam keindahan.

Namun demikian, tiba saatnya untuk merapikan seprai, membenahi busana, meluruskan kemeja dan celana.

"Tiga perempat cangkir kopi cokelat aku persembahkan sebagai kado ulang tahunmu."

Wanita bermata bintang mengosongkan tiga perempat cangkir kopi cokelat, mengecap rasa, lalu mengecup bibir pria flamboyan dan tersenyum penuh arti.

Pasangan itu keluar dari rumah peristirahatan yang dari jalan raya tertutup pepohonan. Oleh karena itu tempat parkirnya pun adem. Rimbun dedaunan menaungi dua kendaraan.

Sedan meninggalkan tempat parkir dikendarai oleh wanita bermata bintang, dikawal oleh SUV yang dikemudikan pria flamboyan.

Sedan pergi ke jurusan barat. SUV mengarah ke timur. Kembali kepada bahtera kehidupan masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun