Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angan dan Ingin Menjadi Gadis Model

21 Desember 2020   17:57 Diperbarui: 21 Desember 2020   18:08 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh NguyenCongDuc dari pixabay.com

Yumi bercita-cita menjadi model, namun terhambat sekat keadaan yang menghimpit dalam sela sempit.

Gadis cilik itu meninggalkan keremajaan, menjemput fase kedewasaan. 

Dari rambut masih kuncir, kini berambut gelombang indah. Dari yang masih bermain tali terbuat dari rangkaian karet gelang, sekarang tiba waktunya menyentuh dunia perguruan tinggi.

Seharusnya Yumi menjadi mahasiswi.

"Untuk apa kuliah? Berijazah sarjana, tapi cari kerjaan susah!"

"Jadi maunya, bagaimana?"

"Pingin kursus atau pendidikan keterampilan saja agar kelak bisa langsung menghasilkan uang, seperti sekolah modeling."

Perawakan dan wajahnya yang khas mendukung keinginan itu. Tapi mengenai biayanya?

Sewaktu kecil, Yumi terlihat sebagaimana gadis cilik lainnya. Saat remaja, keelokannya mulai bertunas. 

Memasuki kesempurnaan umur, ia sudah pandai menempatkan diri sebagai wanita yang sangat terawat. Tidak heran, banyak kumbang berkeliaran berusaha memikatnya.

Tetapi tiada satupun berhasil menarik perhatiannya.

Wajahnya lugu, mencerminkan tipikal crying face. Wajah yang senantiasa menyedot rasa iba, membuat siapa pun yang melihatnya ingin menumpahkan kasih. 

Bisa jadi ia terpengaruh oleh penderitaan pada masa lalu.

Pada suatu masa, perjalanan keluarga Yumi terpaksa menempuh belantara kehidupan yang beronak-duri. Perjuangan berdarah-darah disertai air mata akhirnya mengantarkan Yumi lolos melampaui salah satu jenjang hidup, yakni lulus dari bangku SMA.

Pun memiliki kebiasaan berbeda dengan wanita muda zaman sekarang. Gadis berkaki panjang itu penyuka ruang-ruang sepi dan sunyi.

Pergi ke butik di sudut jalan, menghindari kemeriahan mal. 

Berkunjung ke kawasan menjanjikan pemandangan asri dengan pondok-pondok inap yang menyendiri dalam sunyi nan sepi. 

Menikmati makan minum di sudut restoran lowong membincangkan omong kosong. 

Edi yang bukan Edhy Prabowo menyempatkan diri menemani Yumi, di sela-sela kesibukannya sebagai pejabat. Pria gagah itu berusaha memanjakan gadis berkulit salju menjelajahi wilayah yang disukainya.

Itulah kesempatan bersenang-senang bersama di tengah kesempitan hidup yang menyiksa.

Gadis itu, ah rasanya ia tidak pantas lagi disebut sebagai gadis! Wanita bermata gemintang itu menggelendot manja. Kolokan, gadis cilik kepada ayahnya. 

Rasa bahagia telah menerbangkan kenangan lama, terkubur dalam genangan. 

Kegembiraan yang membuatnya nyaman untuk melabuhkan segala hal kepada pria paruh baya itu: keluh kesah, gelisah, gelembung keinginan dan cita-cita.

"Jadi tetap bersikeras untuk bersekolah modeling?"

Yumi menunduk, tersipu, lalu tersenyum malu-malu. Namun terpancar gelisah menggeliat di wajahnya. 

Wanita pemalu bertubuh langsing yang kerap dicemburui oleh sesama wanita itu berkeinginan mengikuti sekolah modeling, yang relatif singkat dan bisa langsung bekerja menghasilkan uang. 

Sebuah cita-cita yang mengerucut semata-mata demi menopang bangunan keuangan keluarga yang nyaris roboh.

Dengan sedikit malu penuh ragu, disampaikannya hasrat kepada pria matang yang sedang mengamati paras rupawan. Lelaki berusia 45 tahun itu menghela napas panjang lantas tertegun menatap cicak di plafon yang sedang tertawa sinis.

"Baiklah, aku usahakan," lelaki itu memberikan janji sembari menerawang rekanan yang akan memperoleh proyek konstruksi bernilai miliaran dari Dinas yang dikepalainya.

"Untuk sementara, pegang ini dulu sebagai biaya pendaftaran dan lainnya. Dua juta cukup?"

Senyum mengembang, bola mata indah sontak tertutup kelopak berbulu lentik. Yumi memeluk erat pria yang sudah mulai memutih rambutnya itu. 

Kebahagiaannya bersemi. Bahagia yang selalu dirindukannya.

***
Yumi tersenyum menghitung lembaran merah kaku dengan jemari lembut. 

Angan dan ingin menjadi gadis model mendekati kenyataan, lamat-lamat bayangan ayahnya berkelebat.

"Ayah, maafkan anakmu. Seandainya Engkau masih ada, aku takkan melakukan ini."

Terisak, air matanya menitik berupa noda di atas sprei putih yang porak-poranda.

Yumi menyendiri dalam sunyi nan sepi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun