Ransel hijau lumut demikian melekat dengan sosok menyenangkan yang disukai banyak orang. Tas punggung berlogo kulit bulat berwarna merah muda senantiasa dibawa kemana-mana. Tas ransel hijau lumut buatan Eropa konon dibawakan seorang kerabat yang kerap bepergian keluar negeri.
Isinya: laptop, berkas-berkas, kwitansi, materai, buku batik untuk mencatat segala, ballpoint, lem aibon...eh... peralatan tulis dan masih cukup memuat baju-baju jika bepergian ke luar kota.
Sebuah petunjuk mudah untuk menandai keberadaan Tinus, lelaki bertubuh kurus berwajah tirus bersenyum tulus.
Namun siang itu senyum tersebut lenyap ditelan mendung pada wajahnya. Betapa tidak? Tas ransel hijau lumut berlogo kulit merah muda kesayangan lenyap seiring meningginya matahari.
Kehilangan yang mengambrolkan semangat hidup. Sukmanya pun menghindar, terbirit-birit meninggalkan tubuh kurus yang seperti baru dilanda kereta melaju kilat
Sebetulnya Tinus merupakan pribadi bersahaja, mudah bergaul dan pandai membawa diri ketika berhadapan dengan orang.
Ia dikenal sebagai lelaki ringan tangan, bergegas berbuat sesuatu yang sekiranya mengentengkan kegiatan orang lain. Personalitas yang disukai oleh kawan sekolahnya, saat ini menjadi bos dari Tinus.
Rudolfo --sebagai atasan, kawan-- merasa amat beruntung berjumpa dengannya pada saat reuni SMA baru lalu. Ketika itu Tinus bekerja serabutan dan sebatang kara.
Seorang generalis yang mampu mengerjakan apa saja --kecuali makan kepala sendiri-- dan siap memperhambakan diri kapan saja. Dulunya, ia adalah seorang anak tunggal dari keluarga berada. Belasan tahun berlalu membuatnya berubah dari anak mami menjadi seseorang yang keras dan mandiri.
"Mengapa belum berumah-tangga?" Hanya dijawab Tinus dengan kediaman nan abadi. Suatu rahasia yang enggan diberitakannya. Kesukaan terhadap lawan jenis? Jangan ditanya. Jika punya uang cukup, ia akan mengunjungi tempat-tempat..... Ah tak eloklah menceritakannya!
Berapa pagi lalu  --atasan, kawan-- Rudolfo meminta Tinus mengantarnya ke bank lalu menemui rekanan dalam kegiatan pembangunan pekerjaan drainase.
Ya, Rudolfo seorang pemborong! Pekerjaan saluran air di sisi jalan kabupaten senilai semiliar di sub-kontrakkan kepada seorang rekanan berpengalaman seharga delapan puluh prosen.
Setengahnya dibayar sebagai tanda jadi dimulainya proyek tersebut. Tinus telah membuatkan perjanjian kerjasama.
Empat ratus juta diambil tunai dari bank milik pemerintah daerah, tiga ratus juta dan seratus juta masing-masing dibungkus kantong kresek hitam dimasukkan kedalam tas ransel hijau lumut berlogo kulit merah muda.
"Berikan saja tiga ratus juta dulu. Seratus jutanya nanti bisa dibayar secara bertahap" seringai Rudolfo mengembang. Singkat kata, siang itu Rudolfo dan Tinus menyambangi rumah rekanan.
Uang tiga ratus dan seratus juta didalam tas ransel hijau lumut berlogo kulit merah muda berat sekali di punggung Tinus. Kedua pihak bersepakat mengenai pokok-pokok perjanjian. Tiga ratus juta ditukar dengan selembar kwitansi bermaterai.
"Pandai sekali si Rudolfo ini, tanpa perlu repot menangani proyek, di atas kertas ia sudah meraup laba sebesar dua ratus juta" batin Tinus.
Sampai sore mereka membualkan waktu, berkunjung kesana-kemari menemui teman-teman Rudolfo demi mendapatkan penat. Setelah merapihkan mobil ke dalam garasi, Tinus pamit pulang menjinjing penanda khasnya. Lebih ringan dibanding tadi pagi.
Setibanya di tempat kontrakan, Tinus bebersih diri lalu melahap dengan rakus sebungkus nasi goreng yang dibelinya dalam perjalanan pulang.
Seketika ia melompat, "Hei, bukanlah uang seratus juta masih di dalam tas?"
Diperiksanya. Dan benar! Kantong kresek hitam berisi segepok kertas berwana merah masih tersimpan di dalam tas ransel hijau lumut berlogo kulit merah muda.
Sejenak ia hendak menelpon pemilik uang. Tetapi pikiran lain mengganggunya. Rudolfo tak menelponnya, bahkan tidak ada panggilan tak terjawab pada telpon genggamnya. Apakah ia lupa? Berkhayal Rudolfo tidak ingat.
"Baiklah, tunggu saja sampai hari Sabtu besok atau sampai Minggu" pikir Tinus sembari menjelajahi ruang gegap-gempita keduniaan yang serba mungkin. Malam itu petualangan pikir melabuhi alam gemerlap membuat matanya tak bisa terpejam.
Suara-suara bergerincing menyesaki ruang kepala yang telah penuh dengan aneka sepeda motor terbaru, boots Aldo Brue, jam tangan Fossil dan barang-barang bagus yang selama ini cuma mimpi.
Ternyata dering itu bukan mimpi!
Telpon dari Rudolfo telah membangunkannya, "Bro. Bisa antar anak-anak berenang?"
"Aduh tidak bisa....! Saya lagi tak enak badan, semalam susah tidur..." suara Tinus berserakan.
"Oke, beristirahatlah..!" Rudolfo menutup pembicaraan.
Pembicaraan melalui angin itu tiba-tiba menyalakan sebuah gagasan menyehatkan, "Ia tak ingat...!", membuatnya terduduk, berdiri lalu beranjak menyeduh kopi dan menghirup uap menyegarkan.
"Ia lupa...ya... Rudolfo melupakannya...! Melupakan sisa uang yang masih tersimpan di dalam tas ini" dipeluknya erat-erat tas ransel hijau lumut berlogo kulit berwarna merah muda itu.
Recana-rencana hilir-mudik di dalam benak. Pindah kontrakan menjauhi kota ini, beli sepeda motor bagus, mengganti sepatu yang sudah aus dengan sepatu kets hush-puppies dan khayalan tak berkesudahan. Masih ada hari esok pagi untuk secepatnya berkemas-kemas.
Namun paling penting, malam ini mesti dirayakan sebagai hari spesial. Biasanya Tinus makan kering tempe dan teri, hari ini makan steak dan salmon. Air putih atau teh tawar hangat berganti dengan anggur impor. Tapi siapa yang menemaninya?
Malam itu, seorang wanita muda berambut sebahu berbadan langsing duduk bersamanya menikmati anggur mahal. Wanita muda penjaja tubuh melalui daring memang jauh lebih mahal daripada perempuan jalanan di pinggiran rel atau kamar-kamar pengap berbatas tirai.
"Tak apalah, ini untuk menyenangkan diri sendiri", pikir Tinus. Wanita kinyis-kinyis itu diajaknya menari bersama, meneguk minuman dan mereguk panjangnya malam. Keduanya terkapar terpapar kenikmatan duniawi. Terlentang kelelahan tepar.
Hawa panas merembes pada ruang kecil beterbangan mengitari kepala Tinus yang bertumbuh konde. Matanya malas menatap jam pada telponnya. Jam Sebelas.
Sebelas panggilan tak terjawab dari nomor Rudolfo rupanya berteriak dalam sepi. Dibukanya tirai, matahari meninggi melempar silau.
Didorongnya jendela, udara berlomba menyelinap menyergap udara pengap yang terlelap. Benderang yang tiba-tiba hadir menggagahi ruangan terbelah bak kapal pecah.
Wanita muda berambut sebahu berbadan langsing meninggalkan jejak wangi menyengat, sementara tubuh moleknya telah lenyap entah jam berapa.
Sebuah pengetahuan serta-merta meruntuhkan bangunan tulang belulang penyusun tubuh kerempeng kemudian menerbangkan debu-debu nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul:
"Tas ransel melayang bersama empunya wangi pencekik leher....!!!" erang Tinus menyayat jiwa.
Tas ransel hijau lumut berlogo kulit merah muda  berisi: laptop, berkas-berkas, kwitansi, materai, buku batik untuk mencatat segala, ballpoint dan lembaran merah bergepok dibungkus kantong kresek hitam telah raib, menyisakan dinding berlumut.
Sementara itu, di mulut gang menuju teratak Tinus berbentuk petak, Rudolfo --kawan sekaligus atasan-- merapikan parkir mobil dipandu oleh dua orang lelaki berbadan kekar berambut cepak yang dibawanya serta.
~~Selesai~~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H