Ya, Rudolfo seorang pemborong! Pekerjaan saluran air di sisi jalan kabupaten senilai semiliar di sub-kontrakkan kepada seorang rekanan berpengalaman seharga delapan puluh prosen.
Setengahnya dibayar sebagai tanda jadi dimulainya proyek tersebut. Tinus telah membuatkan perjanjian kerjasama.
Empat ratus juta diambil tunai dari bank milik pemerintah daerah, tiga ratus juta dan seratus juta masing-masing dibungkus kantong kresek hitam dimasukkan kedalam tas ransel hijau lumut berlogo kulit merah muda.
"Berikan saja tiga ratus juta dulu. Seratus jutanya nanti bisa dibayar secara bertahap" seringai Rudolfo mengembang. Singkat kata, siang itu Rudolfo dan Tinus menyambangi rumah rekanan.
Uang tiga ratus dan seratus juta didalam tas ransel hijau lumut berlogo kulit merah muda berat sekali di punggung Tinus. Kedua pihak bersepakat mengenai pokok-pokok perjanjian. Tiga ratus juta ditukar dengan selembar kwitansi bermaterai.
"Pandai sekali si Rudolfo ini, tanpa perlu repot menangani proyek, di atas kertas ia sudah meraup laba sebesar dua ratus juta" batin Tinus.
Sampai sore mereka membualkan waktu, berkunjung kesana-kemari menemui teman-teman Rudolfo demi mendapatkan penat. Setelah merapihkan mobil ke dalam garasi, Tinus pamit pulang menjinjing penanda khasnya. Lebih ringan dibanding tadi pagi.
Setibanya di tempat kontrakan, Tinus bebersih diri lalu melahap dengan rakus sebungkus nasi goreng yang dibelinya dalam perjalanan pulang.
Seketika ia melompat, "Hei, bukanlah uang seratus juta masih di dalam tas?"
Diperiksanya. Dan benar! Kantong kresek hitam berisi segepok kertas berwana merah masih tersimpan di dalam tas ransel hijau lumut berlogo kulit merah muda.
Sejenak ia hendak menelpon pemilik uang. Tetapi pikiran lain mengganggunya. Rudolfo tak menelponnya, bahkan tidak ada panggilan tak terjawab pada telpon genggamnya. Apakah ia lupa? Berkhayal Rudolfo tidak ingat.