"Baiklah, tunggu saja sampai hari Sabtu besok atau sampai Minggu" pikir Tinus sembari menjelajahi ruang gegap-gempita keduniaan yang serba mungkin. Malam itu petualangan pikir melabuhi alam gemerlap membuat matanya tak bisa terpejam.
Suara-suara bergerincing menyesaki ruang kepala yang telah penuh dengan aneka sepeda motor terbaru, boots Aldo Brue, jam tangan Fossil dan barang-barang bagus yang selama ini cuma mimpi.
Ternyata dering itu bukan mimpi!
Telpon dari Rudolfo telah membangunkannya, "Bro. Bisa antar anak-anak berenang?"
"Aduh tidak bisa....! Saya lagi tak enak badan, semalam susah tidur..." suara Tinus berserakan.
"Oke, beristirahatlah..!" Rudolfo menutup pembicaraan.
Pembicaraan melalui angin itu tiba-tiba menyalakan sebuah gagasan menyehatkan, "Ia tak ingat...!", membuatnya terduduk, berdiri lalu beranjak menyeduh kopi dan menghirup uap menyegarkan.
"Ia lupa...ya... Rudolfo melupakannya...! Melupakan sisa uang yang masih tersimpan di dalam tas ini" dipeluknya erat-erat tas ransel hijau lumut berlogo kulit berwarna merah muda itu.
Recana-rencana hilir-mudik di dalam benak. Pindah kontrakan menjauhi kota ini, beli sepeda motor bagus, mengganti sepatu yang sudah aus dengan sepatu kets hush-puppies dan khayalan tak berkesudahan. Masih ada hari esok pagi untuk secepatnya berkemas-kemas.
Namun paling penting, malam ini mesti dirayakan sebagai hari spesial. Biasanya Tinus makan kering tempe dan teri, hari ini makan steak dan salmon. Air putih atau teh tawar hangat berganti dengan anggur impor. Tapi siapa yang menemaninya?
Malam itu, seorang wanita muda berambut sebahu berbadan langsing duduk bersamanya menikmati anggur mahal. Wanita muda penjaja tubuh melalui daring memang jauh lebih mahal daripada perempuan jalanan di pinggiran rel atau kamar-kamar pengap berbatas tirai.