"Kamu menang, Bram. Kamu punya segalanya. Karir cemerlang, nama tak bercela. Istri sekarat, yang semakin membuat figurmu mengkilap, sang suami sempurna. Dan, seperti belum cukup, alam masih menambahkan aku, si orang tolol yang memujamu, sebagai tempat sampah emosional, kapanpun kamu perlu.."
“Vin, cukup. Kamu mungkin menganggap aku orang paling busuk sekarang. Tapi, percaya satu hal. Waktu aku meminta kamu untuk meninggalkan Eropa, dan pulang ke sini, bukan untuk kepentingan politis, agar kamu dan Koranmu memoles imageku. Sama sekali tidak. Demi Tuhan, Vin. Aku butuh kamu di dekatku. Waktu aku bilang, kamu adalah ‘rumah’ buat jiwaku, aku tidak berbohong. Kamu bukan satu-satunya orang yang sakit hati disini. Pernah kamu bayangkan, bagaimana perasaanku menghadapi masyarakat, rekan sejawat di partai, lawan politik, konstituen yang sudah percaya, bahkan dan yang paling utama, keluarga besarku? Bagaimana pikirmu perasaanku dengan Illiana? Membiarkan dia merasa sebagai satu-satunya pendosa di dalam rumahtangga kami? Kecemasanku, kalau semua ini terbuka, berapa harga yang harus aku bayar? Berapa lama cerita ini akan terhapus dari ingatan publik? Kemana aku harus sembunyi? Aku tahu, kamu anggap aku pengecut. Kamu sama sekali tidak salah. Aku takut, Vin. Takut sekali”
“Kalau begitu, ini akhir dari dongeng kita, Bram. Si pungguk yang merindukan bulan ini, memang harus keluar dari bingkai. Dan bergabung bersama pungguk lain, kembali menjadi penonton. Semoga kamu bisa bertahan dalam kemunafikan rumahtanggamu. Mungkin memang demikianlah untuk bisa bertahan dalam ikatan perkawinan. Yang dibutuhkan bukan cinta, apalagi hasrat untuk bersatu. Tapi kekuatan untuk menutupi kebusukan sendiri, sekaligus tutup mata untuk kebusukan pasangan. Seperti yang kalian, dengan ahli, sudah pertontonkan di mataku, sepuluh tahun ini”
“Vin, apa yang harus aku lakukan untuk menebus ini? Apapun…. “
“Aku hanya ingin satu hal dan kamu tidak bisa, Bram. Tidak akan ada pesta. Tidak perlu pengakuan. Tidak perlu umur empatpuluh… Aku selesai disini..“
“Bicara apa kamu, Vin? Kamu lagi fly?
“Aku selalu fly”
“Vin, pakai apa kamu…? Dimana…..”
“Bukan urusanmu lagi.. Selamat tinggal, Bramantyo.. Hatiku lelah. Cukup sudah. Lelah sangat..”
“Brengsek!Kevin!KEVIN!TUNGGUU..”
klik.tuut.tuuuut