“Ini bukan soal kantor. Apalagi masa kampanye. Tidak ada hubungannya dengan politik sama sekali..”
“Lalu?..”
“Illiana……”
“Ada apa lagi dengan dia sekarang? Memutuskan untuk sembuh?”
“Vin, bisa kurangi sedikit kecutnya? Illiana tidak bersalah sama kamu. Aku yang salah. Dan, sekedar mengingatkan, kalau kamu lupa. Dia MASIH istriku”.
“Sekedar mengingatkan kalau kamu lupa, istri yang tidur dengan instruktur yoganya, sampai hamil, kemudian aborsi dan sekarang menuai kanker?”
“Aku yang tidak mengenal kamu sebaik yang kukira, atau kamu sudah berubah jadi manusia tidak berhati? Illiana bukan hanya sakit, Vin. Dia sekarat. Bagaimanapun carut-marutnya rumahtangga kami, dia tetap istriku. Dia sudah membayar kesalahannya. Aku yang belum…“
“Jadi, aku adalah kesalahan yang belum lunas itu? Begitu sesungguhnya kamu melihatku, Bram? Dan bodohnya selama ini aku percaya kalau bagimu aku adalah ‘rumah’ tempat kamu pulang dan menjadi diri sendiri. Seperti yang selalu kamu ulang. Andai kamu tahu, dalamnya kata-katamu menyentuhku. Aku tinggalkan kehidupan impian di Milan. Untuk apa? Untuk jadi bayanganmu, Bram. Dan tak putus berharap, kamu akan berubah. Bahwa suatu saat aku akan dikeluarkan dari lemari, dan kita tidak perlu sembunyi lagi. Tapi, politik dan kekuasaan sudah bikin kamu mabuk. Bukan sabu. Bukan juga perempuan malang yang jadi istri pajangan itu. Maaf, Bram. Aku tidak bisa bersimpati lagi padanya. Persediaan sabarku sudah tandas. Habis”.
“Aku melukaimu begitu dalam, ya Vin. Aku sungguh menyesal. Tidak pernah kusangka, acara ulangtahun ini sangat besar artinya buat kamu. Kamu tahu, aku bukan orang yang peduli dan merayakan ulangtahunku sendiri. Jadi, ..”
“Jangan pura-pura bodoh, Bram. Kamu sudah tahu, ini bukan sekedar ulangtahun. Tapi, saat terpenting dalam hidupku. Aku sudah menghayalkan moment ini sejak aku tahu ada yang berbeda denganku, seminggu sebelum ulangtahunku ke limabelas. Duapuluh lima tahun, Bram. Aku menunggu, untuk membuka semua. Dan, aku perlu kamu. Aku tidak akan melibatkanmu lebih jauh. Aku hanya ingin kamu ada. Melihatku. Karena kamu adalah kekuatanku. Seseorang yang akan membuat pengakuan ini menjadi mungkin buatku. Yang aku tidak tahu, ternyata kamu, Bramantyo Wicaksono, adalah juga kelemahanku. Itu yang membuatku marah dan terluka. Betapa besar aku menggantungkan hidup pada kata-katamu. Hari-hari yang kuhabiskan untuk menulis tentang kamu. Untuk kamu. Di buku harian. Di Koran. Sejak hari pertama di Kampus. Aku mahasiswa baru, kikuk dan serba takut. Kamu, ketua Senat yang begitu percaya diri, begitu kuat. Eropa, Bram. Adalah pelarianku dari kamu. Karena waktu itu bagiku kamu begitu tak tersentuh. Kamu tidak pernah tahu, tiga hari aku mengurung diri, hanya berteman dengan botol-botol JDwaktu kamu menikahi perempuan tercantik di angkatanku itu? Illiana, ratu kampus, puteri tunggal pengusaha property nomer satu. Pasangan sempurna. Tapi takdir mempermainkan aku, mempertemukan kita kembali. Dan kamu jadi begitu dekat. Tak berjarak. Membuat aku buta kembali, Bram. Betapa absurdnya semua sekarang. Betapa jauhnya”
“Ya Tuhan, Vin……"