Mohon tunggu...
Sophie Love
Sophie Love Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumahtangga

part time wife, full time mum. belajar menulis untuk menjaga keseimbangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lagu Cinta Bernada Rumit

28 Maret 2015   20:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:52 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Aku tidak bisa Vin. Harus berapa kali aku bilang?. Ini bukan soal mau atau tidak mau, berani atau tidak berani. Aku TIDAK BISA. TITIK.”

“Tidak perlu berteriak, Bram. Telingaku belum tuli. Aku hanya ingin memastikan. Seperti aku bilang di e-mail, yang kamu cuekin itu.  Felix dan Lucia sudah siap untuk booking ticket jadi aku harus beri kepastian secepatnya”

“Aku tidak acuhkan e-mail kamu. Aku sedang ada....”

“Sudahlah. Tidak usah dibahas. Tidak penting lagi. Aku sudah tahu alasannya”

“Tunggu. Kamu harus dengar..”

“Aku sudah dengar dari tadi… Lagu lama, Bram. Dari minggu lalu. Dari bulan lalu. Dari sepuluh tahun lalu. Kamu sibuk. Selalu ada sesuatu yang maha penting. Goodness!. Sudah sepuluh tahun. Dan masih begini-begini saja…”

“Maksudmu?”

“Ini cuma weekend trip. Dua hari. Tidak lebih. Kamu bahkan bisa pulang lebih dulu, kalau memang harus. Tapi, biar seharipun kamu tidak bisakan?”

“Vin,… Maafkan aku”

“Kamu tahu, aku pasti dan selalu akan memaafkanmu, Bram. Tapi, sampai kapan?”

“Apa aku harus jawab itu? Menurut kamu sampai kapan? Dari semua orang, Vin… Kamu orang yang paling mengerti situasi aku. Harusnya pertanyaan seperti itu sudah tidak perlu muncul lagi”

“OK”

“Kamu tahu dalam masa kampanye begini,  dindingpun bertelinga..”

“Aku sudah bilang OK, Bram. Aku mengerti. Kamu mau aku minta maaf, karena berharap? Begitu?

“No,Vin. Aku yang minta maaf. Aku sudah menyakiti kamu lagi. Aku akan perbaiki, OK? Begitu masa kampanye sialan ini lewat, kita berlibur. Dan, kalau aku kembali dapat kursi, kamu tinggal tunjuk negara di bola dunia, dan kita pergi. Deal?”

“Aku tidak sakit, Bram. Aku kecewa. Dan itu bukan masalahmu. Kalau aku sakit hati, kamu bisa minta maaf. Tapi, kekecewaanku, bukan karena kamu tidak bisa ikut. Aku kecewa, karena telah berharap. Harusnya aku cukup tahu diri, untuk tidak mengukir mimpi terlalu tinggi. Dan, aku bukan anggota dewan, kolegamu. Aku hanya seorang jurnalis dan kebetulan meliput di kantormu yang terhormat. Jadi kamu tidak perlu sogok aku”

“JAGA bicaramu”

“Ouch!Sekarang, bicarapun aku harus jaga ya?Geez Pak Bram!”

“Cukup, Vin. Aku sudah minta maaf. Aku sudah tawarkan hadiah perdamaian, bukan sogokan. Aku tahu, kamu bicara begitu, karena kecewa. Aku tidak perlu meyakinkan kamu, semua yang kamu terima dari aku, bisa kupertanggungjawabkan. Kamu tahu siapa aku, Vin. Tidak perlu omongan sampah seperti itu. Buang-buang energi kita. Buang waktu. Tidak tiap hari kita bisa punya kesempatan untuk bicara. Sekarangpun, sebenarnya aku.…”

“Tidak tiap hari juga, aku merayakan ulangtahun ke 40”

“…………….Vin, I am truly sorry… Mungkin lebih baik kamu tahu yang sebenarnya. Aku harus terus terang…”

“Maksud kamu?”

“Ini bukan soal kantor. Apalagi masa kampanye. Tidak ada hubungannya dengan politik sama sekali..”

“Lalu?..”

“Illiana……”

“Ada apa lagi dengan dia sekarang? Memutuskan untuk sembuh?”

“Vin, bisa kurangi sedikit kecutnya? Illiana tidak bersalah sama kamu. Aku yang salah. Dan, sekedar mengingatkan, kalau kamu lupa. Dia MASIH istriku”.

“Sekedar mengingatkan kalau kamu lupa, istri yang tidur dengan instruktur yoganya, sampai hamil, kemudian aborsi dan sekarang menuai kanker?”

“Aku yang tidak mengenal kamu sebaik yang kukira, atau kamu sudah berubah jadi manusia tidak berhati? Illiana bukan hanya sakit, Vin. Dia sekarat. Bagaimanapun carut-marutnya rumahtangga kami, dia tetap istriku. Dia sudah membayar kesalahannya. Aku yang belum…“

“Jadi, aku adalah kesalahan yang belum lunas itu? Begitu sesungguhnya kamu melihatku, Bram? Dan bodohnya selama ini aku percaya kalau bagimu aku adalah ‘rumah’ tempat kamu pulang dan menjadi diri sendiri. Seperti yang selalu kamu ulang. Andai kamu tahu, dalamnya kata-katamu menyentuhku. Aku tinggalkan kehidupan impian di Milan. Untuk apa? Untuk jadi bayanganmu, Bram. Dan tak putus berharap, kamu akan berubah. Bahwa suatu saat aku akan dikeluarkan dari lemari, dan kita tidak perlu sembunyi lagi. Tapi, politik dan kekuasaan sudah bikin kamu mabuk. Bukan sabu. Bukan juga perempuan malang yang jadi istri pajangan itu. Maaf, Bram. Aku tidak bisa bersimpati lagi padanya. Persediaan sabarku sudah tandas. Habis”.

“Aku melukaimu begitu dalam, ya Vin. Aku sungguh menyesal. Tidak pernah kusangka, acara ulangtahun ini sangat besar artinya buat kamu. Kamu tahu, aku bukan orang yang peduli dan merayakan ulangtahunku sendiri. Jadi, ..”

“Jangan pura-pura bodoh, Bram. Kamu sudah tahu, ini bukan sekedar ulangtahun. Tapi, saat terpenting dalam hidupku. Aku sudah menghayalkan moment ini sejak aku tahu ada yang berbeda denganku, seminggu sebelum ulangtahunku ke limabelas. Duapuluh lima tahun, Bram. Aku menunggu, untuk membuka semua. Dan, aku perlu kamu. Aku tidak akan melibatkanmu lebih jauh. Aku hanya ingin kamu ada. Melihatku. Karena kamu adalah kekuatanku. Seseorang yang akan membuat pengakuan ini menjadi mungkin buatku. Yang aku tidak tahu, ternyata kamu, Bramantyo Wicaksono, adalah juga kelemahanku. Itu yang membuatku marah dan terluka. Betapa besar aku menggantungkan hidup pada kata-katamu. Hari-hari yang kuhabiskan untuk menulis tentang kamu. Untuk kamu. Di buku harian. Di Koran. Sejak hari pertama di Kampus. Aku mahasiswa baru, kikuk dan serba takut.  Kamu, ketua Senat yang begitu percaya diri, begitu kuat. Eropa, Bram. Adalah pelarianku dari kamu. Karena waktu itu bagiku kamu begitu tak tersentuh. Kamu tidak pernah tahu, tiga hari aku mengurung diri, hanya berteman dengan botol-botol JDwaktu kamu menikahi perempuan tercantik di angkatanku itu? Illiana, ratu kampus, puteri tunggal pengusaha property nomer satu. Pasangan sempurna. Tapi takdir mempermainkan aku, mempertemukan kita kembali. Dan kamu jadi begitu dekat. Tak berjarak. Membuat aku buta kembali, Bram. Betapa absurdnya semua sekarang. Betapa jauhnya”

“Ya Tuhan, Vin……"

"Kamu menang, Bram. Kamu punya segalanya. Karir cemerlang, nama tak bercela. Istri sekarat, yang semakin membuat figurmu mengkilap, sang suami sempurna. Dan, seperti belum cukup, alam masih menambahkan aku, si orang tolol yang memujamu, sebagai tempat sampah emosional, kapanpun kamu perlu.."

“Vin, cukup. Kamu mungkin menganggap aku orang paling busuk sekarang. Tapi, percaya satu hal. Waktu aku meminta kamu untuk meninggalkan Eropa, dan pulang ke sini, bukan untuk kepentingan politis, agar kamu dan Koranmu memoles imageku. Sama sekali tidak. Demi Tuhan, Vin. Aku butuh kamu di dekatku. Waktu aku bilang, kamu adalah ‘rumah’ buat jiwaku, aku tidak berbohong. Kamu bukan satu-satunya orang yang sakit hati disini. Pernah kamu bayangkan, bagaimana perasaanku menghadapi masyarakat, rekan sejawat di partai, lawan politik, konstituen yang sudah percaya, bahkan dan yang paling utama, keluarga besarku? Bagaimana pikirmu perasaanku dengan Illiana? Membiarkan dia merasa sebagai satu-satunya pendosa di dalam rumahtangga kami? Kecemasanku, kalau semua ini terbuka, berapa harga yang harus aku bayar? Berapa lama cerita ini akan terhapus dari ingatan publik? Kemana aku harus sembunyi? Aku tahu, kamu anggap aku pengecut. Kamu sama sekali tidak salah. Aku takut, Vin. Takut sekali”

“Kalau begitu, ini akhir dari dongeng kita, Bram. Si pungguk yang merindukan bulan ini, memang harus keluar dari bingkai. Dan bergabung bersama pungguk lain, kembali menjadi penonton. Semoga kamu bisa bertahan dalam kemunafikan rumahtanggamu. Mungkin memang demikianlah untuk bisa bertahan dalam ikatan perkawinan. Yang dibutuhkan bukan cinta, apalagi hasrat untuk bersatu. Tapi kekuatan untuk menutupi kebusukan sendiri, sekaligus tutup mata untuk kebusukan pasangan. Seperti yang kalian, dengan ahli, sudah pertontonkan di mataku, sepuluh tahun ini”

“Vin, apa yang harus aku lakukan untuk menebus ini? Apapun…. “

“Aku hanya ingin satu hal dan kamu tidak bisa, Bram. Tidak akan ada pesta. Tidak perlu pengakuan. Tidak perlu umur empatpuluh… Aku selesai disini..“

“Bicara apa kamu, Vin? Kamu lagi fly?

“Aku selalu fly”

“Vin, pakai apa kamu…? Dimana…..”

“Bukan urusanmu lagi.. Selamat tinggal, Bramantyo.. Hatiku lelah. Cukup sudah. Lelah sangat..”

“Brengsek!Kevin!KEVIN!TUNGGUU..”

klik.tuut.tuuuut

----

Satu jam kemudian

Derik pintu ruang perawatan intensif di Rumah Sakit Restu Bunda, memaksa Bramantyo, yang sedang menekuri wajah sekarat istrinya, untuk mengangkat kepala. Sebelum sosok tubuh di atas brankar yang didorong dengan tergesa itu masuk ke dalam ruang penglihatannya, suara berbisik paramedis sudah terlebih dahulu menyengat.

“Percobaan bunuh diri. Kevin Sebastian, wartawan Harian Lintas”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun