Mohon tunggu...
Umarulfaruq Abubakar
Umarulfaruq Abubakar Mohon Tunggu... Penulis - Kangen, dan ingin kembali bercerita dengan para kompasianer

Lahir di Gorontalo, beristrikan orang Kalimantan Selatan, dan kini tinggal di Jawa Tengah, memberi saya banyak ruang untuk mellihat dan menikmati hidup yang berwarna dan beragam, berpindah-pindah dari satu dunia ke dunia yang lain. Warna-warna dunia itu kadang tidak bisa diwakili oleh foto maupun video. Hanya kata yang mampu mengekspresikan suasana batin dan pergolakan pikiran yang tak pernah diam. Dan kompasiana memberi ruang yang luas untuk mengungkapkan suasana batin itu melalui kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Kehebatan Si Anak Badai

1 Juli 2023   15:08 Diperbarui: 1 Juli 2023   15:19 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: geraimuslim.id

Kisah Si Anak Badai

Seperti berbicara, menulis itu usaha menuangkan pikiran dan perasaan.

Itu agar kekayaan rasa dan gagasan setelah membaca satu buku yang menginspirasi tidak menguap, lalu hilang begitu saja.

Layaknya setelah menonton pertandingan sepakbola atau sebuah film seru, akan ada banyak cerita setelahnya di antara para penonton, sebagai ungkapan rasa dan pikiran di saat menonton dan setelahnya.

Seperti itu pula yang terasa setelah membaca satu tulisan yang hebat.

Ada banyak ide yang perlu jalur komunikasi dan jalan penceritaan melalui ungkapan kata-kata.

Rasa yang sangat kaya seperti itu biasanya rasakan setelah membaca buku-buku novel karya Tere Liye, Andrea Hirata, atau Kang Abik. Nuansa imajinasi sangat mendominasi, seakan-akan saya masuk ke dalam alur cerita dan menyaksikan secara langsung.

Seperti pagi ini, setelah saya menuntaskan novel Tere Liye; Si Anak Badai. Petualangan keempat orang anak pesisir: Awang, Zaenal, Malim, dan Ode, memberikan banyak pelajaran yang berarti.

Saatnya saya berbagi rasa dan cerita yang mengesankan dengan teman-teman di kompasiana.

Langsung Menyaksikan

Saya pernah menyaksikan sendiri kehebatan anak-anak pesisir dalam berenang. Waktu itu saya dalam perjalanan Gorontalo-Jakarta, mampir ke Dermaga Pelabuhan Ternate, dengan kapal penumpang, Lambelu.

Dari atas kapal itu saya melihat banyak anak-anak kecil berteriak,

"Lempar koinnya, Om"

"Lempar koinnya, Om"

Lalu para penumpang melemparkan uang-uang logam.

Begitu uang logam itu berkecipak, anak-anak itu dengan gesit berenang masuk ke dalam air untuk menemukan uang-uang yang baru saja dilemparkan. Tiba-tiba dengan cepat kepalanya sudah muncul di permukaan, memamerkan uang yang baru saja berhasil ditemukan.

Persis seperti yang dilakukan oleh Geng Si Anak Badai itu. Mereka terlahir dan besar di air. Mungkin bagi mereka hidup di dalam air, sama saja seperti di darat. Tidak ada kesulitan dalam bernafas, mengapung, menyelamat, atau membuka mata sekalipun.


Shalat Shubuh

Selain kemampuan berenangnya yang hebat, saya juga kagum dengan kebiasaan shalat subuh di kampung itu.

Bangun saat azan saja sudah dianggap kesiangan, karena bisa terlambat datang ke masjid. Mereka bangun sebelum itu dan melaksanakan shalat subuh berjamaah dan tempat waktu.

Apalagi ketika jembatan penyeberangan ke masjid runtuh, mereka harus berangkat lebih awal, karena untuk ke masjid harus naik perahu.

Tidak peduli semalaman melaut, shalat shubuh harus di masjid dan tepat waktu. Sekalipun, seperti si Malim, yang tertidur saat sujud, tapi ia tetap datang tepat waktu di saat subuh.

Di saat subuh itulah terjadi suasana dan cengkrama yang hebat antar warga.

 

Badai

Nenek moyangku orang pelaut 

Gemar mengarusi Samudera

Menerjang Ombak Tiada Takut

Menempuh Badai Sudah Biasa

 

Soal nelayan adalah orang-orang yang sangat tangguh, itu juga benar benar sekali. Selama membaca buku ini, yang terbayang di benak saya adalah suasana dan kawan-kawan dari Milango, Desa Pentadu Timur, dan dari Dulango, Desa Pentadu Barat, di Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo-Gorontalo, dengan suasana kampung dan kehidupan sehari-hari yang langsung menempel dengan laut.

Ada juga teman-teman dari Mohupomba, salah satu kawasan yang lebih dalam lagi di Milango. Belum lagi teman teman dari Desa Bajo.

Mereka orang-orang yang hebat dan kuat. Waktu SD, saya sering sekali ikut memancing di laut, naik perahu sampai ke tengah, dan bermain-main di sekitar pelelangan ikan.

Lalu terjadilah badai yang dahsyat itu, saat anak-anak bersama Pak Dehem dan nelayan lainnya. Awalnya suasana begitu seru dengan menangkap ikan yang banyak, tapi tiba-tiba suasana berubah, badai mendadak datang menderu-deru menghantam perahu.

Kesetiakawanan dan kecerdasan Za terlihat jelas, saat menyelamatkan Ode. Dia rela melepaskan pegangannya di dinding kapal, saat ada hantaman ombak dari lambung kanan, lalu segera menggelinding ke ruang penyimpanan ikan.

Itulah saat-saat hebat, yang benar-benar mengasah batin menjadi mereka semakin berani.

Menghadapi terjangan ombak saja berani mereka lakukan, apalagi kalau hanya berenang ke kapal untuk mengambil dokumen asli tentang ketidaklayakan pembangunan pelabuhan di kampung itu.

Melawan Bajak Laut, Menyelamatkan Pak Kapten

Episode paling seru tentunya pada usaha Geng Anak Badai menyelematkan Pak Kapten, Sukai bin Manaf, tokoh tua yang paling vokal melawan usaha pembuatan pelabuhan yang akan dilakukan oleh Bajak Laut, Pak Alex Saja,  dan Utusan Gubernur, Pak Siapalah.

Mulai dari usaha meluluhkan hati para tukang pukul dengan memancing berjam-jam dekat kapal yacht, sambil berikutnya bisa naik melihat-lihat ke dalam kapal, lalu akhirnya melalukan operasi intelijen dengan merekam pembicaraan penting antara di Bajak Laut, Utusan Gubernur, dan Camat Tiong tentang siasat jahat di balik pembangunan pelabuhan, hingga akhirnya berhasil datang ke pengadilan dibantu oleh pengacara Wak Adnan Buyung untuk mengungkap skandal korupsi besar di balik pembuatan pelabuhan.

Gerak KPK begitu cepat, bahkan sebelum disadari oleh Utusan Gubernur, Pak Bajak Laut, dan Pak Camat.

Konflik diramu dengan penyelesaian yang hebat, cerdas, alami, dan juga masuk akal. Buku ini memberikan pelajaran tentang keberanian, kesetiakawanan, kejenakaan, kecerdasan, kelihaian anak pesisir, dan banyak pelajaran lainnya.

Itulah sekelebat rasa yang saya rasakan setelah membaca buku ini...

Nah, sekarang giliran teman-teman kompasiana yang berbagi cerita..

Silahkan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun