Dengan memperhatikan pendapat pakar komunikasi di atas, maka salah satu cara untuk menangkap spektrum makna yang lebih luas dari pesan monoteisme Nabi Ibrahim kepada anak-anaknya adalah dengan menelaah fakta-fakta sejarah yang berhubungan dengan rekam jejak keturunan Nabi Ibrahim dalam peradaban umat manusia.
Michael H. Hart telah menegaskan posisi keturunan Nabi Ibrahim di dalam bukunya The 100 (A Ranking of the Most Influential Person in History) sebagaimana dikutip oleh Eko Laksono (2005). Hart menempatkan tiga keturunan Nabi Ibrahim, yakni Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad sebagai tokoh-tokoh paling berpengaruh di dunia. Bahkan, satu di antaranya berada di urutan teratas dari 100 pesohor dunia yang disusul sejumlah ilmuan, politikus, hingga filsuf-filsuf besar seperti Sokrates dan Plato.
Secara tidak langsung, Hart telah membantu kita melacak sisi lain dari Nabi Ibrahim dan keturunannya. Betapapun, ranking Hart ini menjadi salah satu clue untuk mengetahui bahwa agama Ibrahimi rupanya tidak berkutat hanya pada ranah teologis semata, melainkan juga sosial-politik, ideologis, dan aspek-aspek duniawi lainnya.
Ahli sejarah dan teolog, Cliton Sullivan (2005), juga mengemukakan hal senada. Secara spesifik ia menyebut salah seorang Rasul dari keturunan Nabi Ibrahim sebagai tokoh berpengaruh di dunia yang sanggup mengubah sejarah kehidupan umat manusia dengan meramu kekuatan spiritual dan duniawi sehingga menjadikannya pemimpin karismatik sepanjang masa.Â
Jonathan Black memuji Harun Ar-Rasyid (814 M) melalui bukunya, SEJARAH DUNIA YANG DISEMBUNYIKAN (2012). Black memandang Harun Ar-Rasyid adalah seorang penguasa yang berhasil memajukan peradaban manusia dan menjadikan Baghdad (Irak) khusunya, sebagai kota terindah di dunia pada masanya.
Menurut Black, kemajuan Baghdad tidak lepas dari kebiasaan Harun Ar-Rasyid mengumpulkan semua penulis, seniman, pemikir, dan ilmuan di istananya. Tentu saja, kita tidak bisa melihat Harun Ar-Rasyid dan dinastinya secara parsial atau terpisah dari dua era sebelumnya, yaitu Umayyah dan Khulafaur Rasyidin yang juga telah melakukan hal serupa.
Setali tiga uang, Umayyah dan Khulafaur Rasyidin juga tidak dapat kita pisahkan dari Nabi Muhammad. Dengan kata lain, pencapaian-pencapaian dari ketiga kekuasaan tersebut tidak lepas dari visi universal Nabi Muhammad sebagai keturunan Nabi Ibrahim dari garis Ismail (Bani
Ismail).
Jauh sebelum masehi, Alkitab mengisahkan bahwa keturunan Nabi Ibrahim dari garis Ishak (Bani Israel) telah terlibat dalam pergaulan global yang menemui puncaknya pada era Raja Daud dan Sulaiman (Salomo). Fahmi Basya adalah matematikawan yang berusaha melakukan penelitian dalam masalah ini dan tiba pada sebuah kesimpulan kontroversial: Candi Borobudur adalah peninggalan Sulaiman.
Terlepas dari temuan Fahmi Basya ini, sebelum kita mengenal Pythagoras (570 SM), Herodotus (484 SM; bapak sejarah dunia), Socrates (470
SM), Plato (428 SM) hingga Aristotels (384 SM) dengan karya-karyanya, nabi-nabi Bani Israel seperti Daniel (700 SM), Yeremia, Hosea, dan Yeheskiel, telah menulis kitabnya masing-masing, sementara Thales (600 SM; bapak filsafat dunia) konon tidak meninggalkan literatur tentang filsafatnya.
Alkitab juga menunjukkan, dua kerajaan besar waktu itu, Babilonia dan Medio-Persia, mengangkat Nabi Daniel sebagai orang dekat kaisar dan kepadanya diberikan wewenang yang sangat besar dengan pertimbangan kemampuan yang dimilikinya.
Peristiwa ini terjadi sekitar 400 tahun sebelum cerita tentang filsuf Aristotels yang diangkat menjadi penasehat kaisar Yunani Kuno, Alexander The Great.