Mohon tunggu...
M. Makarumpa
M. Makarumpa Mohon Tunggu... Penulis - Imajinasi--Kaidah--Realitas

Kemajuan peradaban umat manusia bermula dari amajinasi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menakar Fenomena Agama Ibrahimi dengan Fakta Sejarah

20 Agustus 2020   16:29 Diperbarui: 21 Oktober 2020   08:16 2885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin sama seperti penulis, pembaca juga bertanya-tanya mengapa sentimen di antara agama Ibrahimi bisa terjadi sementara mereka berasal dari satu bapak? Antropolog Jerman, Wilhelm Schmidt, telah membantu penulis menjawab masalah ini.

Penulis terkejut ketika Schmidt menyebut monoteisme sebagai ide tertua yang pernah dikembangkan oleh manusia sebelum menyembah dewa-dewa. Schmidt melihat ide ini (monoteisme) lambat laun memudar, ditinggalkan dan digantikan dengan tuhan-tuhan yang mudah dijangkau, sebab tuhan yang satu sudah berjarak dan tidak pernah hadir lagi dalam kehidupan sehari-hari (Amstrong, 2001).

Segera, pendapat Schmidt ini mengusik kesadaran lama penulis tentang kehidupan manusia pada zaman dahulu: primitif, tidak berbudaya, dan yang pasti tidak bertuhan. 

Memang, Schmidt menyandarkan gagasan ini pada temuannya tentang fenomena yang terdapat dalam suku-suku pribumi di Afrika, jauh sebelum Nabi Ibrahim. Tetapi, setidak-tidaknya dari sini kita menemukan fenomena perubahan (pergeseran) cara pandang dan perilaku manusia tentang suatu realitas yang disebut TUHAN dalam lini masa tertentu seiring perubahan ruang dan waktu.

Karena cara pandang dan perilaku manusia berubah, dengan sendirinya gagasan ketuhanan manusia berkembang, berubah atau ditinggalkan sama sekali. Gejala serupa dapat saja terjadi pada semua agama dan konsep ketuhanan yang pernah ada di muka bumi ini, tidak terkecuali agama-agama Ibrahimi ini.

Kemestian semacam ini memungkinkan kita memilih satu asumsi bahwa, suatu saat, panggilan zaman akan mengumpulkan (menyatukan) generasi Ibrahimi dalam teologi baru yang memungkinkan mereka meninggalkan sentimen dan ketegangan yang terjadi selama ini, alih-alih kita memilih asumsi yang sebaliknya.

Semua mufasir sepakat bahwa monoteisme Nabi Ibrahim adalah ajaran yang meyakini satu TUHAN, yaitu Pencipta Alam Semesta, dan hanya DIA yang pantas diabdi.

Mereka juga berpendapat bahwa untuk mendapatkan makna komprehensif atas suatu wacana, di samping melakukan telaah tekstual, seseorang harus juga melakukan telaah kontekstual (asbabunnudzul), faktor-faktor yang melatari sebuah wacana seperti sosial, budaya, politik, dan peristiwa-peristiwa penting lainnya termasuk sejarah.

Pakar ilmu komunikasi, Teun A Van Dijk dan Norman Fairclough, mengemukakan hal senada. Dalam pandangannya, sebuah wacana tidak mungkin dapat dipahami atau ditafsirkan tanpa melihat kondisi dan lingkungan sebagai konteks yang mendasari wacana itu sendiri (Junaedi, 2007). 

Baik Alkitab maupun Al-Qur'an sama-sama mengisahkan bahwa, menjelang akhir hayatnya, Nabi Ibrahim mengumpulkan anak-anaknya demi
untuk memastikan mereka tidak berpaling dari monoteisme.

Butuh waktu untuk melihat cerita ini secara utuh dan memaknainya lebih dari sekedar peristiwa agamis layaknya orangtua yang sedang menasehati anak-anaknya supaya jangan pindah agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun