Mungkin sama seperti penulis, pembaca juga bertanya-tanya mengapa sentimen di antara agama Ibrahimi bisa terjadi sementara mereka berasal dari satu bapak? Antropolog Jerman, Wilhelm Schmidt, telah membantu penulis menjawab masalah ini.
Penulis terkejut ketika Schmidt menyebut monoteisme sebagai ide tertua yang pernah dikembangkan oleh manusia sebelum menyembah dewa-dewa. Schmidt melihat ide ini (monoteisme) lambat laun memudar, ditinggalkan dan digantikan dengan tuhan-tuhan yang mudah dijangkau, sebab tuhan yang satu sudah berjarak dan tidak pernah hadir lagi dalam kehidupan sehari-hari (Amstrong, 2001).
Segera, pendapat Schmidt ini mengusik kesadaran lama penulis tentang kehidupan manusia pada zaman dahulu: primitif, tidak berbudaya, dan yang pasti tidak bertuhan.Â
Memang, Schmidt menyandarkan gagasan ini pada temuannya tentang fenomena yang terdapat dalam suku-suku pribumi di Afrika, jauh sebelum Nabi Ibrahim. Tetapi, setidak-tidaknya dari sini kita menemukan fenomena perubahan (pergeseran) cara pandang dan perilaku manusia tentang suatu realitas yang disebut TUHAN dalam lini masa tertentu seiring perubahan ruang dan waktu.
Karena cara pandang dan perilaku manusia berubah, dengan sendirinya gagasan ketuhanan manusia berkembang, berubah atau ditinggalkan sama sekali. Gejala serupa dapat saja terjadi pada semua agama dan konsep ketuhanan yang pernah ada di muka bumi ini, tidak terkecuali agama-agama Ibrahimi ini.
Kemestian semacam ini memungkinkan kita memilih satu asumsi bahwa, suatu saat, panggilan zaman akan mengumpulkan (menyatukan) generasi Ibrahimi dalam teologi baru yang memungkinkan mereka meninggalkan sentimen dan ketegangan yang terjadi selama ini, alih-alih kita memilih asumsi yang sebaliknya.
Semua mufasir sepakat bahwa monoteisme Nabi Ibrahim adalah ajaran yang meyakini satu TUHAN, yaitu Pencipta Alam Semesta, dan hanya DIA yang pantas diabdi.
Mereka juga berpendapat bahwa untuk mendapatkan makna komprehensif atas suatu wacana, di samping melakukan telaah tekstual, seseorang harus juga melakukan telaah kontekstual (asbabunnudzul), faktor-faktor yang melatari sebuah wacana seperti sosial, budaya, politik, dan peristiwa-peristiwa penting lainnya termasuk sejarah.
Pakar ilmu komunikasi, Teun A Van Dijk dan Norman Fairclough, mengemukakan hal senada. Dalam pandangannya, sebuah wacana tidak mungkin dapat dipahami atau ditafsirkan tanpa melihat kondisi dan lingkungan sebagai konteks yang mendasari wacana itu sendiri (Junaedi, 2007).Â
Baik Alkitab maupun Al-Qur'an sama-sama mengisahkan bahwa, menjelang akhir hayatnya, Nabi Ibrahim mengumpulkan anak-anaknya demi
untuk memastikan mereka tidak berpaling dari monoteisme.
Butuh waktu untuk melihat cerita ini secara utuh dan memaknainya lebih dari sekedar peristiwa agamis layaknya orangtua yang sedang menasehati anak-anaknya supaya jangan pindah agama.